Makalah Tentang Hadits Dha'if

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Salah satu fitnah besar yang pernah menimpa umat Islam pada abad pertama hijriah adalah tersebarnya hadis-hadis dha’if dan maudhu’ di kalangan umat. Hal ini juga menimpa para ulama, kecuali sejumlah pakar dan kriktikus hadis yang di kehendaki Allah, seperti Imam Ahmad, Bukhari, Ibnu Muin, dan lainnya. Tersebarnya hadis-hadis semacam itu di seluruh wilayah islam telah meninggalkan dampak negative yang luar biasa, di antaranya terjadi perusakan segi akidah, syariat, dan sebagainya.
Di antara bukti nyata betapa sangat buruk pengaruh hadis dha’if pada umat islam adalah tumbuhnya sikap meremehkan terhadap hadis Rasulullah SAW.. Kalangan ulama, mubalig, dan pengajar yang kurang cermat dalam menukil periwayatan hadis juga semakin mempercepat penyebaran dampak buruk tersebut. Belum lagi hadis yang dipalsukan ternyata memang amat banyak.[1]

1.2  Rumusan Masalah

a.   Apa pengertian hadis Dha’if ?

b.      Bagaimana dengan klasifikasi hadis Dha’if ?


 

BAB II

PEMBAHASAN 

2.1  Hadis Dhaif

2.1.1        Pengertian Hadis Dhaif
Dhaif menurut lughat adalah lemah, lawan dari gawi (yang kuat). Adapun menurut Muhaditsin, Hadis dhaif adalah semua hadis yang tidak terkumpul padanya sifat-sifat bagi hadis yang diterima dan menurut pendapat kebanyakan ulama; hadis dhaif adalah yang tidak terkumpul padamya sifat hadis sahih dan hasan.[2] Hadis dha’if  merupakan hadis yang tidak memenuhi beberapa persyaratan hadis shahih misalnya karena tidak bersambung sanad-nya (‘adam al-ittishal), tidak adil dan tidak dapat diandalkan kekuatan daya ingat atau hafalan para perawi dalam seluruh sanad, atau karena adanya keganjilanbaik dalam sanad atau pada matan, dan ataukarena adanya cacat yang tersembunyi. [3]

2.1.2        Klasifikasi Hadis Dhaif

Para ulama Muhaditsin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadis dari dua jurusan, yakni dari jurusan sanad dan jurusan matan.
Sebab-sebab tertolaknya hadis dari jurusan sanad adalah:
a.       Terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilan maupun ke-dhabit-annya.
b.      Ketidakbersambungannya sanad, dikarenakan adalah seorang rawi atau lebih, yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain.

Adapun cacat pada keadilan dan ke-dhabit-an rawi ada sepuluh macam, yaitu sebagai berikut.
1.      Dusta
2.      Tertuduh dusta
3.      Fasik
4.      Banyak salah
5.      Lengah dalam menghapal
6.      Menyalahi riwayat orang kepercayaan
7.      Banyak waham (purbasangka)
8.      Tidak diketahui identitasnya
9.      Penganut bid'ah
10.  Tidak baik hafalannya


2.2  Klasifikasi Hadis Dha'if Berdasarkan Cacat pada Keadilan dan Ke-dhabit-an Rawi

2.2.1        Hadis Maudhu'

a.      Pengertian hadis maudhu’
Hadis maudhu' adalah, Hadis yang dicipta serta dibuat oleh seseorang (pendusta), yang ciptaan itu dinisbatkan kepada Rasululah SAW. secara palsu dan dusta, baik disengaja maupun tidak.[4]

b.      Ciri-ciri hadis maudhu’
Para ulama menentukan bahwa ciri-ciri ke-maudhu'-an suatu hadis terdapat pada sanad dan matan hadis.
Ciri-ciri yang terdapat pada sanad hadis, yaitu adanya pengakuan dari si pembuat sendiri, qarinah-qarinah yang memperkuat adanya pengakuan membuat hadis maudhu’, dan qarinah-qarinah yang berpautan dengan tingkah lakunya.
Adapun ciri-ciri yang terdapat pada matan, dapat ditinjau dari dua segi, yaitu segi ma'na dan segi lafazh. Dari segi ma’na, yaitu bahwa hadis itu bertentangan dengan Al-Quran, hadis mutatwatir, ijma’, dan logika yang sehat. Dari segi lafazh, yaitu bila susunan kalimatnya tidak baik dan tidak fasih.

c.       Karya-karya dalam hadis maudhu'
Para ulama Muhaditsin, dengan menggunakan berbagai kaidah studi kritis hadis, berhasil mengumpulkan hadis maudhu’ dalam sejumlah karya yang cukup banyak, di antaranya:
·      Al-Maudhu’at, karya Ibn AlJauzi (Ulama yang paling awal menulis dalam ilmu in).
·      At-L’ ali Al-Mashnu'ah fi A-Ahadits At-Maudhu'ah, karya As-Suyuthi (ringkasan Ibnu Al-Jauzi dengan beberapa tambahan).
·      Tanzih Asy-Syari'ah Al-Marfu’ah ‘an Al-Ahadits Asy-Syani'ah Al-Maudhu'ah, karya Ibnu 'Iraq Al-Kittani (ringkasan kedua kitab tersebut).
·      Silsilah AlAhadits Adh-Dha'ifah, karya Al-Albani.

2.2.2        Hadis Matruk

Hadis matruk adalah, Hadis yang pada sanadnya ada seorang rawi yang tertuduh dusta.[5] Rawi yang tertuduh dusta adalah seorang rawi yang terkenal dalam pembicaraan sebagai pendusta, tetapi belum dapat dibuktikan bahwa ia sudah pernah berdusta dalam membuat hadis. Seorang rawi yang tertuduh dusta, bila ia bertobat dengan sungguh-sungguh, dapat diterima periwayatan hadisnya.

2.2.3        Hadis Munkar

Hadis munkar adalah hadis yang pada sanadnya terdapat rawi yang jelek kesalahannya, banyak kelengahannya atau tampak kefasikannya.[6] Lawannya dinamakan ma'ruf.

2.2.4        Hadis Syadzdz

Hadis syadzdz adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang maqbul, yang menyalahi riwayat orang yang lebih utama darinya, baik karena jumlahnya lebih banyak ataupun lebih tinggi daya hafalnya.

2.3  Klasifikasi Hadis Berdasarkan Gugurnya Rawi

2.3.1        Hadis Mu'allaq
Mu'allaq, menurut bahasa, adalah isim maf'ul yang berarti terikat dan tergantung. Sanad seperti ini disebut mu'allaq karena hanya terikat dan tersambung pada bagian atas saja, sementara bagian bawahnya terputus sehingga menjadi seperti sesuatu yang bergantung pada atap dan yang semacamnya. Sementara itu, menurut istilah, hadis mu'allaq adalah hadis yang seorang rawinya atau lebih gugur dari awal sanad secara berurutan.
Di antara bentuknya adalah bila semua sanad digugurkan dan dihapus, kemudian dikatakan,"Rasulullah bersabda …” atau dengan menggugurkan semua sanad, kecuali seorang sahabat, atau seorang sahabat tabiin.
Contohnya: Bukhari meriwayatkan dari Al-Majisyun dari Abdullah bin Fadhl dari Abu Salamah dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi SAW bersabda:


Janganlah kalian melebih-lebihkan di antara para nabi.
Pada hadis ini, Bukhari tidak pernah bertemu Al-Majisyun.[7]

2.3.2        Hadis Mu’dhal
Mu’adhal secara bahasa adalah sesuatu yang dibuat lemah dan dibuat lebih. Disebut demikian, mungkin karena para ulama hadis lelah dan letih untuk mengetahuinya karena beratnya ketidakjelasan dalam hadis itu. Adapun menurut istilah muhaditsin, hadis mu’dhal adalah hadis yang putus sanadnya dua orang atau lebih secara berurutan.[8]
Contohnya diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam kitab Ma’rifat, Ulum Al-Hadis dengan sanadnya kepada Al-Qa'naby dari Malik. bahwa dia menyampaikan, bahwa Abu Hurairah berkata, "Rasulullah bersabda,

لِلْمَمْلُوكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ بالمعروف وَلا يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ إِلا مَا يُطِيقُ

Seorang hamba sahaya berhak mendapatkan makanan dan pakaian sesuai kadarnya dengan baik dan tidak dibebani pekeriaan, melainkan apa yang dia mampu mengerjakannya.

Al-Hakim berkata, "Hadis ini mu’dhal dari Malik dalam kitab Al-Muwatha'."
Hadis ini yang kita dapatkan bersambung sanadnya pada kita, selain Al-Muwatha', diriwayatkan dari Malik bin Anas dari Muhammad bin ‘Ajlan, dari bapaknya, dari Abu Hurairah. Letak ke-mu’dhalan-nya karena gugurnya dua perawi dari sanadnya, yaitu Muhammad bin 'Ajlan dan bapaknya. Kedua rawi tersebut gugur secara berurutan.[9]

2.3.3        Hadis Mursal

Mursal, menurut bahasa, isim maf'ul, yang berarti ‘yang dilepaskan'. Adapun hadis mursal menurut istilah adalah hadis yang gugur rawi dari sanadnya setelah tabiin, baik tabiin besar maupun tabiin kecil. Seperti bila seorang tabiin mengatakan, "Rasulullah SAW, bersabda begini atau berbuat seperti ini.”[10]
Seperti telah kita ketahui bahwa dalam hadis mursal itu, yang digugurkan adalah sahabat yang langsung langsung menerima dari Rasulullah SAW., sedangkan yang mengugurkan dapat juga seorang tabiin atau sahabat kecil. Oleh karena itu, ditinjau  dari segi siapa yang menggugurkan dan segi sifat-sifat pengguguran hadis, hadis mursal terbagi pada mursal jali, mursal shahabi, dan mursal khafi.
a.  Mursal Jali, yaitu bila pengguguran yang telah dilakukan oleh rawi (tabiin) jelas sekali, dapat diketahui oleh umum, bahwa orang yang menggugurkan itu tidak hidup sezaman dengan orang yang digugurkan yang mempunyai berita.
b.      Mursal Shahabi, yaitu pemberitaan sahabat yang disadarkan kepada Nabi Muhammad SAW., tetapi ia tidak mendengar atau menyaksikan sendiri apa yang ia beritakan, karena pada saat Rasulullah hidup, ia masih kecil atau terakhir masuknya ke dalam agama Islam. Hadis mursal shahabi ini dianggap sahih karena pada galib-nya ia tiada meriwayatkan selain dari para sahabat, sedangkan para sahabat itu seluruhnya adil
c.       Mursal khafi, yaitu hadis yang diriwayatkan tabiin, di mana tabiin yang meriwayatkan hidup sezaman dengan shahabi, tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah hadis pun darinya.

2.3.4        Hadis Munqathi

Hadis munqathi’ adalah hadis yang gugur seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.[11]
Macam-macam pengguguran (inqitha’) sebagai berikut:
a.   Inqitha' dilakukan dengan jelas sekali, bahwa si rawi meriwayatkan hadis dapat diketahui tidak sezaman dengan guru yang memberikan hadis padanya atau ia hidup sezaman dengan gurunya, tetapi tidak mendapat ijazah (perizinan) untuk meriwayatkan hadisnya.
b.      Inqitha' dilakukan dengan samar-samar, yang hanya dapat diketahui oleh orang yang keahlian saja.
c.    Diketahui dari jurusan lain, dengan adanya kelebihan seorang rawi atau lebih dalam hadis riwayat orang lain.[12]

2.3.5        Hadis Mudallas

Hadis mudallas adalah hadis yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadis itu tidak bernoda. Rawi yang berbuat demikian disebut mudallis. Hadis yangdiriwayatkan oleh mudallis disebut hadis mudallas, dan perbuatannya disebut dengan tadlis.

Macam-macam tadlis sebagai berikut:
a.       Tadlis isnad, yaitu bila seorang rawi yang meriwayatkan suatu hadis dari orang yang pernah bertemu dengan dia, tetapi rawi tersebut tidak pernah mendengar hadis darinya. Agar rawi tersebut dianggap mendengar dari rawi yang digunakan, ia menggunakan lafazh menyampaikan hadis dengan 'an fulamin (dari si Fulan) atau anna fulanan yaqulu (bahwa si Fulan berkata).
b.      Tadlis syuyukh, yaitu bila seorang rawi meriwayatkan sebuah hadis yang didengarkan dari seorang guru dengan menyebutkan nama kuniyah-nya, nama keturunannya, atau menyifati gurunya dengan sifat-sifat yang belum/tidak dikenal oleh orang banyak.
c.       Tadlis tastwiyah (tajwid), yaitu bila seorang rawi meriwayatkan hadis dari gurunya yang tsiqah, yang oleh guru tersebut diterima dari gurunya yang lemah, dan guru yang lemah ini menerima dari seorang guru tsiqah pula, tetapi si mudallis tersebut meriwayatkan tanpa menyebutkan rawi-rawi yang lemah, bahkan ia meriwayatkan dengan lafazh yang mengandung pengertian bahwa rawinya tsiqah semua.[13]




BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dhaif menurut lughat adalah lemah, lawan dari gawi (yang kuat). Adapun menurut Muhaditsin, Hadis dhaif adalah semua hadis yang tidak terkumpul padanya sifat-sifat bagi hadis yang diterima dan menurut pendapat kebanyakan ulama; hadis dhaif adalah yang tidak terkumpul padamya sifat hadis sahih dan hasan. Hadis dha’if  merupakan hadis yang tidak memenuhi beberapa persyaratan hadis shahih misalnya karena tidak bersambung sanad-nya (‘adam al-ittishal), tidak adil dan tidak dapat diandalkan kekuatan daya ingat atau hafalan para perawi dalam seluruh sanad, atau karena adanya keganjilanbaik dalam sanad atau pada matan, dan ataukarena adanya cacat yang tersembunyi.
Klasifikasi Hadis Dha'if Berdasarkan Cacat pada Keadilan dan Ke-dhabit-an Rawi terbagi menjadi: hadis Maudhu’, hadis Matruk, hadis Munkar, dan hadis Syadzdz. Klasifikasi Hadis Berdasarkan Gugurnya Rawi terbagi menjadi: hadis Mu’allaq, hadis mu’dhal, hadis Mursal, hadis Munqathi dan hadis Mudallas.



 

DAFTAR PUSTAKA


Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 1998. Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’
jilid 1. Jakarta: Gema Insani Press.


Khon, Abdul Majid. 2010. Ulumul Hadis. Jakarta: Sinar Grafika Offset.

Suyadi, Agus, dan M. Agus Solahudin. 2008. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka
Setia.




[1] Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’ jilid 1,Gema Insani Press, Jakarta, 1998, Pengantar Penerbit.
[2] Agus Suyadi dan M. Agus Solahudin, Ulumul Hadis, Pustaka Setia, Bandung, 2008, hal. 148.
[3] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2010, hal. 168.
[4] Agus Suyadi dan M. Agus Solahudin, Ulumul Hadis, Pustaka Setia, Bandung, 2008, hal. 149.
[5] Agus Suyadi dan M. Agus Solahudin, Ulumul Hadis, Pustaka Setia, Bandung, 2008, hal. 150.
[6] Ibid. hal. 150
[7] Ibid. hal. 151
[8] Ibid. hal. 152
[9] Ibid. hal. 152
[10] Ibid. hal. 152
[11] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2010, hal. 174.
[12] Agus Suyadi dan M. Agus Solahudin, Ulumul Hadis, Pustaka Setia, Bandung, 2008, hal. 153 - 154.
[13] Agus Suyadi dan M. Agus Solahudin, Ulumul Hadis, Pustaka Setia, Bandung, 2008, hal. 154 -155.

Related Posts

Makalah Tentang Hadits Dha'if
4/ 5
Oleh