Makalah Ruang Lingkup Etika Bisnis Islam


BAB II

PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Ruang Lingkup Etika Bisnis Islam

Secara Bahasa, ruang lingkup di artikan sebagai batasan. Secara istilah, ruang lingkup adalah suatu batasan yang memudahkan penelitian agar lebih efektif dan efisien untuk memisahkan asfek tertentu sebuah objek.
Etika berasal dari bahasa Yunani yang berarti karakter, kebiasaan atau sekumpulan perilaku moral yang diterima secara luas. Etimologi dari etika menunjukkan dasar karakter individu untuk melakukan hal-hal yang baik, aturan sosial yang membatasi seseorang atas sesuatu yang benar atau yang salah yang dikenal juga dengan istilah moralitas. Etika adalah bagian dari filsafat yang membahas secara rasional dan kritis tentang nilai, norma atau moralitas. Terminologi yang paling dekat dengan pengertian etika dalam Islam disebut sebagai akhlak (bentuk jama’nya khuluq).
Etika bisnis merupakan prinsip-prinsip moral atau aturan tingkah laku atau kaidah-kaidah etik yang dianut dalam berbisnis. Arti lain dari etika bisnis adalah aturan main prinsip dalam organisasi yang menjadi pedoman membuat keputusan dan tingkah laku
Etika bisnis dalam Islam adalah sejumlah perilaku etis bisnis (akhlaq al Islamiyah) yang dibungkus dengan nilai-nilai syariah yang mengedepankan halal dan haram. Jadi perilaku yang etis itu ialah perilaku yang mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangnya. Dalam Islam etika bisnis ini sudah banyak dibahas dalam berbagai literatur dan sumber utamanya adalah Al-Quran dan sunnaturrasul. Pelaku-pelaku bisnis diharapkan bertindak secara etis dalam berbagai aktivitasnya. Kepercayaan, keadilan dan kejujuran adalah elemen pokok dalam mencapai suksesnya suatu bisnis di kemudian hari.
Dari beberapa penjelasan arti kata di atas dapat diambil kesimpulan sederhana jika ruang lingkup etika bisnis islam adalah batasan perilaku manusia dalam melakukan usaha (transaksi/kerjasama) sesuai dengan ketentuan allah.

2.2  Fungsi Etika Bisnis Islam

Pada dasarnya terdapat fungsi khusus yang diemban oleh etika bisnis Islami. Dijelaskan sebagai berikut :
1.                           Etika bisnis berupaya mencari cara untuk menyelaraskan dan menyerasikan berbagai kepentingan dalam dunia bisnis.
2.                           Etika bisnis juga mempunyai peran untuk senantiasa melakukan perubahan kesadaran bagi masyarakat tentang bisnis, terutama bisnis Islami. Dan caranya biasanya dengan memberikan suatu pemahaman serta cara pandang baru tentang bisnis dengan menggunakan landasan nilai-nilai moralitas dan spiritualitas, yang kemudian terangkum dalam suatu bentuk bernama etika bisnis.
3.                           Etika bisnis terutama etika bisnis Islami juga bisa berperan memberikan satu solusi terhadap berbagai persoalan bisnis modern ini yang kian jauh dari nilai-nilai etika. Dalam arti bahwa bisnis yang beretika harus benar-benar merujuk pada sumber utamanya yaitu Al-Quran dan Sunnah.

2.3  Aksioma Dasar Etika Bisnis Islam

Dilihat dari perspektif ajaran etika (akhlak) dalam Islam pada prinsipnya manusia dituntut untuk berbuat baik pada dirinya sendiri, disamping kepada sesama manusia, alam lingkungannya dan kepada Tuhan selaku pencipta-Nya. Oleh karena itu, untuk bisa berbuat baik pada semuanya itu, manusia di samping diberi kebebasan (free will), hendaknya ia memperhatikan keesaan Tuhan (tauhid), prinsip keseimbangan (tawazun = balance) dan keadilan (qist). Di samping tanggung jawab (responsibility) yang akan di hadapkan kepada Tuhan. Lima konsep inilah yang disebut Aksioma dasar etika bisnis Islam, yang terdiri atas prinsip-prinsip umum yang terhimpun menjadi satu kesatuan yang terdiri atas konsep-konsep keesaan (tauhid), keseimbangan (equilibrium), kehendak bebas (free will), tanggung jawab (responsibility), dan kebajikan (ihsan).
Sejumlah aksioma dasar etika bisnis Islam tersebut sudah menjadi umum dan jelas kebenarannya, serta sudah dikembangkan dan dirumuskan oleh para sarjana muslim. Aksioma-aksioma ini merupakan turunan dari hasil penerjemahan kontemporer akan konsep-konsep fundamental dari nilai moral Islami. Penjelasan aksioma-aksioma tersebut adalah sebagai berikut :
a.       Kesatuan (Tauhid/Unity).
Konsep ini dimaksudkan bahwa sumber utama etika Islam adalah kepercayaan total dan murni terhadap kesatuan (keesaan) Tuhan. Konsep tauhid merupakan dimensi vertical Islam yang berarti Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa menetapkan batas-batas tertentu atas perilaku manusia sebagai khalifah, untuk memberikan manfaat pada individu tanpa mengorbankan hak-hak individu lainnya. Hubungan vertical ini merupakan wujud penyerahan diri manusia secara penuh tanpa syarat di hadapan Tuhan, dengan menjadikan keinginan, ambisi, serta perbuatannya tunduk pada titah-Nya. Oleh karena itu tauhid merupakan dasar dan sekaligus motivasi untuk menjaminkelangsungan hidup, kecukupan, kekuasaan, dan kehormatan manusia yang telah didesain Allah menjadi makhluk yang dimuliakan.
Dengan mengintegrasikan aspek religius dengan aspek-aspek kehidupan yang lainnya, seperti ekonomi, akan menimbulkan perasaan dalam diri manusia bahwa ia akan selalu merasa direkam segala aktivitas kehidupannya, termasuk dalam aktivitas berekonomi sehingga dalam melakukan aktivitas bisnis tidak akan mudah menyimpang dari segala ketentuannya. Perhatian terus menerus untuk kebutuhan etik dan dimotivasi oleh ketauhidan kepada Tuhan Yang Maha Esa akan meningkatkan kesadaran individu mengenai insting altruistiknya, baik terhadap sesama manusia maupun alam lingkungannya. Ini berarti, konsep tauhid akan memiliki pengaruh yang paling mendalam terhadap diri seorang muslim.
b.      Keseimbangan (Keadilan/Equilibrium).
Prinsip keseimbangan bermakna terciptanya suatu situasi di mana tidak ada satu pihak pun yang merasa dirugikan, atau kondisi saling ridho („an taradhin).20 Perilaku keseimbangan dan keadilan dalam bisnis secara tegas dijelaskan dalam konteks perbendaharaan bisnis agar pengusaha muslim menyempurnakan takaran bila menakar dan menimbang dengan neraca yang benar, karena hal itu merupakan perilaku yang terbaik dan membawa akibat yang baik pula.
Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam mengharuskan untuk berbuat adil, tak terkecuali kepada pihak yang tidak disukai. Islam mengharuskan penganutnya untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan. Dan bahkan berlaku adil harus didahulukan dari kebajikan dalam perniagaan, persyaratan adil yang paling mendasar adalah agar pengusaha Muslim menyempurnakan takaran bila menakar dan menimbang dengan alat timbangan yang benar, karena hal itu merupakan perilaku terbaik yang akan mendekatkan pada ketakwaan.
c.       Kehendak Bebas (Ikhtiyar/Free Will).
Dalam pandangan Islam, manusia memiliki kebebasan untuk mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk memperoleh kemashlahah-an yang tertinggi dari sumber daya yang ada pada kekuasaannya untuk dikelola dan dimanfaatkan untuk mencapai kesejahteraan hidup, namun kebebasan dalam Islam dibatasi oleh nilai-nilai Islam. Dengan tanpa mengabaikan kenyataan bahwa ia sepenuhnya dituntun oleh hukum yang diciptakan Allah SWT, ia diberikan kemampuan untuk berfikir dan membuat keputusan, untuk memilih jalan hidup yang ia inginkan, dan yang paling penting, untuk bertindak berdasarkan aturan apapun yang ia pilih. Tidak seperti halnya ciptaan Allah SWT yang lain di alam semesta, ia dapat memilih perilaku etis maupun tidak etis yang akan ia jalankan.
Konsep Islam memahami bahwa institusi ekonomi seperti pasar dapat berperan efektif dalam kehidupan perekonomian. Hal ini berlaku manakala tidak ada intervensi bagi pasar dari pihak manapun, tak terkecuali oleh pemerintah. Dalam Islam kehendak bebas mempunyai tempat tersendiri, karena potensi kebebasan itu sudah ada sejak manusia dilahirkan di muka bumi ini. Namun, sekali lagi perlu ditekankan bahwa kebebasan yang ada dalam diri manusia bersifat terbatas, sedangkan kebebasan yang tak terbatas hanyalah milik Allah semata.oleh karena itu perlu disadari setiap muslim, bahwa dalam situasi apa pun, ia dibimbing oleh aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan Tuhan dalam Syariat-Nya yang dicontohkan melalui Rasul-Nya.
d.      Pertanggung Jawaban (Responsibility).
Islam sangat menekankan pada konsep tanggung jawab, walaupun tidaklah berarti mengabaikan kebebasan individu. Ini berarti bahwa yang dikehendaki ajaran Islam adalah kehendak yang bertanggung jawab. Manusia harus berani mempertanggungjawabkan segala pilihannya tidak saja di hadapan manusia bahkan paling penting adalah kelak di hadapan Tuhan. Tanggung jawab muslim yang sempurna tentu saja didasarkan atas cakupan kebebasan yang luas, yang dimulai dari kebebasan untuk memilih keyakinan dan berakhir dengan keputusan yang paling tegas yang perlu diambilnya.
Dalam dunia bisnis hal semacam itu juga sangat berlaku. Setelah melaksanakan segala aktifitas bisnis dengan berbagai bentuk kebebasan, bukan berarti semuanya selesai saat tujuan yang dikehendaki tercapai, atau ketika sudah mendapatkan keuntungan. Semua itu perlu adanya pertanggung jawaban atas apa yang telah pebisnis lakukan, baik itu pertanggung jawaban ketika ia bertransaksi, memproduksi barang, menjual barang, melakukan jual beli, melakukan perjanjian dan lain sebagainya.

e.       Ihsan.
Ihsan (benevolence), artinya melaksanakan perbuatan baik yang dapat memberikan kemanfaaatan kepada orang lain, tanpa adanya kewajiban tertentu yang mengharuskan perbuatan tersebut atau dengan kata lain beribadah, dan berbuat baik seakan-akan melihat Allah, jika tidak mampu, maka yakinlah bahwa Allah melihat apa yang kita perbuat.
Dalam sebuah kerjaan bisnis Ahmad menggarisbawahi sejumlah perbuatan yang dapat mensupport pelaksanaan aksioma ihsan dalam bisnis, yaitu :
1)      Kemurahan hati (leniency)
2)      Motif pelayanan (Service motive)
3)      Kesadaran akan adanya Allah dan aturan yang berkaitan dengan pelaksanaan yang menjadi proritas.
Selain hal yang disebutkan di atas, manusia juga diwajibkan untuk mengenal dan mengobservasi skala prioritas Quran, seperti:
1)      Lebih memilih kepada penghargaan akhirat ketimbang penghargaan duniawi
2)      Lebih memilih kepada tindakan yang bermoral ketimbang yang tidak bermoral
3)      Lebih memilih halal ketimbang yang haram.

2.4  Prinsip-Prinsip Etika Bisnis Islam

Rasulullah SAW memiliki sifat – sifat ke Rasul-an yang menjadi dasar etika bisnis ala Rasulullah yaitu Shidiq, Amanah, Tabligh dan Fathanah. Kejujuran (as-sidiq) dan kepercayaan (al-amin) menjadi prinsip utama Rasulullah Saw dalam berbisnis, selain itu beliau juga terhitung sebagai orang yang cerdas (fatanah) dengan pemikiran yang visioner, kreatif dan inovatif, serta pintar mempromosikan diri dan bisnisnya (tabligh) atau dalam istilah ekonomi dikenal dengan marketing, semua itu menyatu dalam diri Rasulullah SAW.
1.      Siddiq
Siddiq artinya benar. Bukan hanya perkataannya yang benar, tapi juga perbuatannya juga benar. Sejalan dengan ucapannya. (QS. An-Najm : 4)
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)
Seorang pemimpin senantiasa berprilaku benar dan jujur dalam sepanjang kepemimpinannya, dan seorang pemasar haruslah sifat shiddiq haruslah menjiwai setiap prilakunya dalam melakukan pemasaran, dalam berhubungan dengan pelanggan, dalam bertransaksi dengan nasabah, dan dalam menjalin kerjasama dan perjanjian dengan mitra bisnisnya.
2.      Amanah
Amanah artinya benar-benar bisa dipercaya. Jika satu urusan diserahkan kepadanya, niscaya orang percaya bahwa urusan itu akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itulah Rasulullah Saw dijuluki oleh penduduk Mekkah dengan gelar “Al Amin” yang artinya terpercaya jauh sebelum beliau diangkat jadi Nabi. Apa pun yang beliau ucapkan, penduduk Mekkah mempercayainya karena beliau bukanlah orang yang pembohong. Sebagaimana telah diterangkan dalam ayat berikut ini: (QS. Al-A’raaf : 68)
Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu”.
Dapat dipercaya, bertanggung jawab, juga bermakna keinginan untuk memenuhi sesuatu sesui dengan ketentuan. Menyelaraskan nilai yang terkait dengan kejujuran dan melengkapinya.
3.      Tabligh
Tabligh artinya menyampaikan. Segala firman Allah yang ditujukan oleh manusia, disampaikan oleh Nabi.Tidak ada yang disembunyikan meski itu menyinggung Nabi. (QS. Al Jin : 28)
Supaya Dia mengetahui, bahwa Sesungguhnya Rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu”.
Orang yang mempunyai sifat ini akan menyampaikan dengan benar dan apa adanya dengan tutur kata yang tepat. Berbicara dengan orang lain dengan sesuatu yang mudah dipahaminya, berdiskusi dan melakukan presentasi dengan bahasa yang mudah dipahami sehingga orang tersebut dapat dengan mudah memahami pesan bisnis yang kita sampaikan.
4.      Fathanah
Fathanah artinya Cerdas. Mustahil Nabi itu bodoh. Dalam menyampaikan 6 ribu lebih ayat Al Qur’an kemudian menjelaskannya dalam puluhan ribu hadits membutuhkan kecerdasan yang luar biasa. Nabi harus mampu menjelaskan firman-irman Allah kepada kaumnya sehingga mereka mau masuk ke dalam Islam. Nabi juga harus mampu berdebat dengan orang-orang kafir dengan cara yang sebaik-baiknya. Apalagi Nabi mampu mengatur ummatnya sehingga dari bangsa Arab yang bodoh dan terpecah-belah serta saling perang antar suku, menjadi satu bangsa yang berbudaya dan berpengetahuan. Dan dapat diartikan sebagai seorang pemasar harus cerdik dan bijaksana, dalam kata lain adalah pemasar harus mengerti, memahami, menghayati secara mendalam segala hal yang menjadi tugas dan kewajibannya.

2.5  Transaksi yang Dilarang Dalam Islam

Transaksi-transaksi yang dilarang untuk dilakukan dalam Islam adalah transaksi yang disebabkan oleh kedua faktor berikut :

Haram zatnya (objek transaksinya)
Suatu transaksi dilarang karena objek (barang dan/atau jasa) yang ditransaksikan merupakan objek yang dilarang (haram) dalam hukum agama Islam. Seperti memperjualbeli kan alkohol, narkoba, organ manusia, dll.
Haram Selain Zatnya (Cara Bertransaksi-nya)
Setidaknya dari berbagai literatur yang kami jumpai terbagi atas 13 jenis :
1.      MAYSIR
Semua bentuk perpidahan harta ataupun barang dari satu pihak kepada pihak lain tanpa melalui jalur akad yang telah digariskan Syariah, namun perpindahan itu terjadi melalui permainan, seperti taruhan uang pada permainan kartu, pertandingan sepak bola, pacuan kuda, pacuan greyhound dan seumpamanya. Mengapa dilarang? Karena (1) permainan bukan cara untuk mendapatkan harta/keuntungan (2) menghilangkan keredhaan dan menimbulkan kebencian/dendam (3) tidak sesuai dengan fitrah insani yang berakal dan disuruh bekerja untuk dunia dan akhirat.
Menurut bahasa maisir berarti gampang/mudah. Menurut istilah maisir berarti memperoleh keuntungan tanpa harus bekerja keras. Maisir sering dikenal dengan perjudian karena dalam praktik perjudian seseorang dapat memperoleh keuntungan dengan cara mudah. Dalam perjudian, seseorang dalam kondisi bisa untung atau bisa rugi.
Judi dilarang dalam praktik keuangan Islam, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah sebagai berikut:
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya’…
(QS. Al Baqarah : 219)
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan  syetan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan
(QS Al-Maaidah : 90)
Pelarangan maisir oleh Allah SWT dikarenakan efek negative maisir. Ketika melakukan perjudian seseorang dihadapkan kondisi dapat untung maupun rugi secara abnormal. Suatu saat ketika seseorang beruntung ia mendapatkan keuntungan yang lebih besar ketimbang usaha yang dilakukannya. Sedangkan ketika tidak beruntung seseorang dapat mengalami kerugian yang sangat besar. Perjudian tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan keseimbangan sehingga diharamkan dalam sistem keuangan Islam.
2.      GHARAR/TAGHRIR
Sesuatu yang tidak jelas dan tidak dapat dijamin atau dipastikan kewujudannya secara matematis dan rasional baik itu menyangkut barang (goods), harga (price) ataupun waktu pembayaran uang/penyerahan barang (time of delivery).
Taghrir dalam bahasa Arab gharar, yang berarti : akibat, bencana, bahaya, resiko, dan ketidakpastian. Dalam istilah fiqh muamalah, taghrir berarti melakukan sesuatu secara membabi buta tanpa pengetahuan yang mencukupi; atau mengambil resiko sendiri dari suatu perbuatan yang mengandung resiko tanpa mengetahui dengan persis akibatnya, atau memasuki kancah resiko tanpa memikirkan konsekuensinya.
Menurut Ibnu Taimiyah, gharar terjadi bila seseorang tidak tahu apa yang tersimpan bagi dirinya pada akhir suatu kegiatan jual beli. Taghrir dan tadlis terjadi karena adanya incomplete information yang terjadi pada salah satu pihak baik pembeli atau penjual. Karena itu, kasus taghrir terjadi bila ada unsure ketidakpastian yang melibatkan kedua belah pihak (uncertain to both parties).
Menurut mahzab Imam Safi`e seperti dalam kitab Qalyubi wa Umairah: “gharar itu adalah   apa-apa   yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita  dan akibat yang paling mungkin muncul adalah yang paling kita takuti”.
Dengan demikian menurut bahasa, arti gharar adalah al-khida` (penipuan), suatu tindakan yang didalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan. Gharar dari segi fiqih berarti penipuan dan tidak mengetahui barang yang diperjualbelikan dan tidak dapat diserahkan. Gharar terjadi apabila, kedua belah pihak saling tidak mengetahui apa yang akan terjadi, kapan musibah akan menimpa, apakah minggu depan, tahun depan, dan sebagainya. Ini adalah suatu kontrak yang dibuat berasaskan andaian (ihtimal) semata. Inilah yang disebut gharar (ketidak jelasan) yang dilarang dalam Islam, kehebatan sistem Islam dalam bisnis sangat menekankan hal ini, agar kedua belah pihak tidak didzalimi atau terdzalimi. Karena itu Islam mensyaratkan beberapa syarat sahnya jual beli, yang tanpanya jual beli dan kontrak menjadi rusak, diantara syarat-syarat tersebut adalah:
·         Timbangan yang jelas (diketahui dengan jelas berat jenis yang ditimbang)
·         Barang dan harga yang jelas dan dimaklumi (tidak boleh harga yang majhul (tidak diketahui ketika beli).
·         Mempunyai tempo tangguh yang dimaklumi
·         Ridha kedua belah pihak terhadap bisnis yang dijalankan.
Imam an-Nawawi menyatakan, larangan gharar dalam bisnis Islam mempunyai perananan  yang begitu hebat dalam menjamin keadilan, jika kedua belah pihak saling meridhai, kontrak tadi secara dzatnya tetap termasuk dalam kategori bay’ al-gharar yang diharamkkan.

3.      RIBA
Al-Quran dan Sunnah dengan sharih telah menjelaskan keharaman riba dalam berbagai bentuknya; dan seberapun banyak ia dipungut. Allah swt berfirman;
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.
[QS Al Baqarah (2): 275]
Di dalam Sunnah, Nabi Muhammad saw
Satu dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia mengetahui (bahwa itu adalah riba), maka itu lebih berat daripada enam puluh kali zina”.
(HR Ahmad dari Abdullah bin Hanzhalah).
Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam, yaitu:
Al-Qur’an
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan
(QS. Ali Imran:130).
Hai orang-orang yang beriman,bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya”.
(QS. Al Baqarah: 278-279)
Hadits
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Riba adalah tujuh puluh dosa; dosanya yang paling ringan adalah (sama dengan) dosa orang yang berzina dengan ibunya.
(HR. Ibn Majah).
Jabir berkata bahwa Rasulullah SAW mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian Beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama”.
(HR.Muslim).
4.      BAI’ AL MUDTARR
Adalah jual beli dan pertukaran dimana salah satu pihak dalam keadaan sangat memerlukan (in the state of emergency) sehingga sangat mungkin terjadi eksploitasi oleh pihak yang kuat sehingga terjadi transaksi yang hanya menguntungkan sebelah pihak dan merugikan pihak lainnya.
5.      IKRAH
Segala bentuk tekanan dan pemaksaan dari salah satu pihak untuk melakukan suatu akad tertentu sehingga menghapus komponen mutual free consent. Jenis pemaksaan dapat berupa acaman fisik atau memanfaatkan keadaan seseorang yang sedang butuh atau the state of emergency. Imam Ibnu Taimiyah ra mengatakan bahwa dalam keadaan darurat (state of emergency) seseorang yang memilik stock barang yang dibutuhkan orang banyak harus diperintahkan untuk menjualnya dengan harga pasar, jika dia enggan melakukannya pihak berkuasa dapat memaksanya untuk melakukan hal tersebut demi menyelamatkan nyawa orang banyak.
6.      GHABN
Adalah dimana si penjual memberikan tawaran harga diatas rata-rata harga pasar (market price) tanpa disadari oleh pihak pembeli. Ghabn ada dua jenis yakni: Ghabn Qalil (Negligible) dan Ghabn Fahish (Excessive).
Ghabn Qalil: adalah jenis perbedaan harga barang yang tidak terlalu jauh antara harga pasar dan harga penawaran dan masih dalam kategori yang dapat dimaklumi oleh pihak pembeli. Ghabn Fahish adalah perbedaan harga penawaran dan harga pasar yang cukup jauh bedanya.
7.      BAI’ NAJASH.
Dimana sekelompok orang bersepakat dan bertindak secara berpura-pura menawar barang dipasar dengan tujuan untuk menjebak orang lain agar ikut dalam proses tawar menawar tersebut sehingga orang ketiga ini akhirnya membeli barang dengan harga yang jauh lebih mahal dari harga sebenarnya. Larangan Rasul saw:
“..Janganlah kamu meminang seorang gadis yang telah dipinang saudaramu, dan jangan menawar barang yang sedang dalam penawaran saudaramu; dan janganlah kamu bertindak berpura-pura menawar untuk menaikkan harga..
Ini adalah sebuah situasi di mana konsumen/pembeli menciptakan demand (permintaan) palsu, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk sehingga harga jual produk itu akan naik. Cara yang bisa ditempuh bermacam-macam, seperti menyebarkan isu, melakukan order pembelian, dan sebagainya. Ketika harga telah naik maka yang bersangkutan akan melakukan aksi ambil untung dengan melepas kembali barang yang sudah dibeli, sehingga akan mendapatkan keuntungan yang besar. Sebagai contoh : ini sangat rentan terjadi ketika pelelangan suatu barang. Biasanya yang mengadakan pelelangan bekerja sama dengan beberapa peserta pelelangan dimana mereka bertugas untuk berpura-pura melakukan penawaran terhadap barang yang dilelang, dengan kata lain untuk menaikkan harga barang yang dilelang tersebut.
8.      IHTIKAR
Adalah menumpuk-numpuk barang ataupun jasa yang diperlukan masyarakat dan kemudian si pelaku mengeluarkannya sedikit-sedikit dengan harga jual yang lebih mahal dari harga biasanya dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan lebih cepat dan banyak. Para ulama tidak membatasi jenis barang dan jasa yang ditumpuk tersebut asalkan itu termasuk dalam kebutuhan essential, maka Ihtikar adalah dilarang. Rasulullah saw bersabda:
Barangsiapa yang menimbun (barang & jasa kebutuhan pokok) maka telah melakukan suatu kesalahan.
Ikhtikar adalah sebuah situasi di mana produsen/penjual mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara mengurangi supply (penawaran) agar harga produk yang dijualnya naik. Ikhtikar ini biasanya dilakukan dengan membuat entry barrier (hambatan masuk pasar), yakni menghambat produsen/penjual lain masuk ke pasar agar ia menjadi pemain tunggal di pasar (monopoli), kemudian mengupayakan adanya kelangkaan barang dengan cara menimbun stock (persediaan), sehingga terjadi kenaikan harga yang cukup tajam di pasar. Ketika harga telah naik, produsen tersebut akan menjual barang tersebut dengan mengambil keuntungan yang berlimpah. Sebagai contoh: ketika akan dirumorkan oleh pemerintah bahwa tarif bbm akan dinaikan, maka marak terjadinya penimbunan bbm oleh para penjual nakal. Hal ini mereka lakukan agar dapat menjual bbm dengan tarif yang sudah dinaikkan, sehingga mereka mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
9.      GHISH
Menyembunyikan fakta-fakta yang seharusnya diketahui oleh pihak yang terkait dalam akad sehingga mereka dapat melakukan kehati-hatian (prudent) dalam melindungi kepentingannya sebelum terjadi transaksi yang mengikat. Dalam Common Law akad seperti ini dikenal dengan sebutan Akad Uberrime Fidae Contract dimana semua jenis informasi yang seharusnya diketahui oleh pelanggan sama sekali tidak boleh disembunyikan. Jika ada salah satu informasi berkenaan dengan subject matter akad tidak disampaikan, maka pihak pembeli dapat memilih opsi membatalkan transaksi tersebut.
10.  TADLIS
Adalah tindakan seorang peniaga yang sengaja mencampur barang yang berkualitas baik dengan barang yang sama berkualitas buruk demi untuk memberatkan timbangan dan mendapat keuntungan lebih banyak Tindakan “oplos” yang hari ini banyak dilakukan termasuk kedalam kategori tindakan tadlis ini. Rasullah saw sering melakukan ‘inspeksi mendadak’ ke pasar-pasar untuk memastikan kejujuran para pelaku pasar dan menghindari konsumen dari kerugian.
Yaitu sebuah situasi di mana salah satu dari pihak yang bertransaksi berusaha untuk menyembunyikan informasi dari pihak yang lain (unknown to one party) dengan maksud untuk menipu pihak tersebut atas ketidaktahuan akan informasi objek yang diperjualbelikan.
Hal ini bisa penipuan berbentuk kuantitas (quantity), kualitas (quality), harga (price), ataupun waktu penyerahan (time of delivery) atas objek yang ditransaksikan. Sebagai contoh : apabila kita menjual hp second dengan kondisi baterai yang sudah sangat lemah, ketika kita menjual hp tersebut tanpa memberitahukan (menutupi) kepada pihak pembeli, maka transaksi yang kita lakukan menjadi haram hukumnya.
11.  TALAQQIL JALAB / TALAQQI RUKBAN
Yang dimaksud dengan jalab adalah barang yang diimpor dari tempat lain. Sedangkan rukban yang dimaksud adalah pedagang dengan menaiki tunggangan.
Adapun yang dimaksud talaqqil jalab atau talaqqi rukban adalah sebagian pedagang menyongsong kedatangan barang dari tempat lain dari orang yang ingin berjualan di negerinya, lalu ia menawarkan harga yang lebih rendah atau jauh dari harga di pasar sehingga barang para pedagang luar itu dibeli sebelum masuk ke pasar dan sebelum mereka mengetahui harga sebenarnya. Jual beli seperti ini diharamkan menurut jumhur (mayoritas ulama) karena adanya pengelabuan.
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari talaqqil jalab
(HR. Muslim no. 1519).
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata, “Dulu kami pernah menyambut para pedagang dari luar, lalu kami membeli makanan milik mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas melarang kami untuk melakukan jual beli semacam itu dan membiarkan mereka sampai di pasar makanan dan berjualan di sana
(HR. Bukhari no. 2166).
Jika orang luar yang diberi barangnya sebelum masuk pasar dan ia ketahui bahwasanya ia menderita kerugian besar karena harga yang ditawarkan jauh dengan harga normal jika ia berjualan di pasar itu sendiri, maka ia punya hak khiyar untuk membatalkan jual beli. Dalam hadits Abu Hurairah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah menyambut para pedagang luar. Barangsiapa yang menyambutnya lalu membeli barang darinya lantas pedagang luar tersebut masuk pasar (dan tahu ia tertipu dengan penawaran harga yang terlalu rendah), maka ia punya hak khiyar (pilihan untuk membatalkan jual beli)
(HR. Muslim no. 1519).
Jika jual beli semacam ini tidak mengandung dhoror (bahaya) atau tidak ada tindak penipuan atau pengelabuan, maka jual beli tersebut sah-sah saja. Karena hukum itu berkisar antara ada atau tidak adanya ‘illah (sebab pelarangan).
12.  BAI’ HADIR LIL BAAD
Yang dimaksud bai’ hadir lil baad adalah orang kota yang menjadi calo untuk orang pedalaman atau bisa jadi bagi sesama orang kota. Calo ini mengatakan, “Engkau tidak perlu menjual barang-barangmu sendiri. Biarkan saya saja yang jualkan barang-barangmu, nanti engkau akan mendapatkan harga yang lebih tinggi”.
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah menyambut para pedagang dari luar (talaqqi rukban) dan jangan pula menjadi calo untuk menjualkan barang orang desa”. Ayah Thowus lantas berkata pada Ibnu ‘Abbas, “Apa maksudnya dengan larangan jual beli hadir li baad?” Ia berkata, “Yaitu ia tidak boleh menjadi calo”.
(HR. Bukhari nol. 2158).
Menurut jumhur, jual beli ini haram, namun tetap sah. Namun ada beberapa syarat yang ditetapkan oleh para ulama yang menyebabkan jual beli ini menjadi terlarang, yaitu:
Barang yang ia tawarkan untuk dijual adalah barang yang umumnya dibutuhkan oleh orang banyak, baik berupa makanan atau yang lainnya. Jika barang yang dijual jarang dibutuhkan, maka tidak termasuk dalam larangan.
Jual beli yang dimaksud adalah untuk harga saat itu. Sedangkan jika harganya dibayar secara diangsur, maka tidaklah masalah. Orang desa tidak mengetahui harga barang yang dijual ketika sampai di kota. Jika ia tahu, maka tidaklah masalah.
13.  RISYWAH
Risywah menurut bahasa berarti: “pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan kehendaknya.” (al-Misbah al-Munir/al Fayumi, al-Muhalla/Ibnu Hazm). Atau “pemberian yang diberikan kepada seseorang agar mendapatkan kepentingan tertentu”
Sedangkan menurut istilah risywah berarti: “pemberian yang bertujuan membatalkan yang benar atau untuk menguatkan dan memenangkan yang salah.”
Dari definisi di atas ada dua sisi yang saling terkait dalam masalah risywah; Ar-Rasyi (penyuap) dan Al-Murtasyi (penerima suap), yang dua-duanya sama-sama diharamkan dalam Islam menurut kesepakatan para ulama, bahkan perbuatan tersebut dikategorikan dalam kelompok dosa besar. Sebagaimana yang telah diisyaratkan beberapa nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyah berikut ini:
Firman Allah ta’ala:
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui
(QS Al Baqarah 188)
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram
(QS Al Maidah 42).
Imam al-Hasan dan Said bin Jubair menginterpretasikan ‘akkaaluna lissuhti’ dengan risywah. Jadi risywah (suap) identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah SWT
Rasulullah SAW bersabda:
Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap
(HR Khamsah kecuali an-Nasa’i dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi).
 “Setiap daging yang tumbuh dari barang yang haram (as-suht) nerakalah yang paling layak untuknya.” Mereka bertanya: “Ya Rasulullah, apa barang haram (as-suht) yang dimaksud?”, “Suap dalam perkara hukum
(Al-Qurthubi 1/ 1708)
Ayat dan hadits di atas menjelaskan secara tegas tentang diharamkannya mencari suap, menyuap dan menerima suap. Begitu juga menjadi mediator antara penyuap dan yang disuap




BAB III

PENUTUP

3.1  Kesimpulan

Ruang lingkup etika bisnis islam adalah batasan perilaku manusia dalam melakukan usaha (transaksi/kerjasama) sesuai dengan ketentuan allah. Prinsip etika bisnis islam sama seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW yang menjadi dasar etika bisnis ala Rasulullah yaitu Shidiq, Amanah, Tabligh dan Fathanah. Transaksi yang dilarang dalam islam terbagi dua, yang pertama karena dzatnya haram dan yang kedua karena cara bertaransaksinya.



DAFTAR PUSTAKA

 

Amalia, F. (2013). Etika Bisnis Islam: Konsep dan Implementasi pada Pelaku Usaha Kecil . Jurnal Pendidikan, 116-125.
Baidowi, A. (2011). Etika Bisnis Perspektif Islam. JHI, 9 (2), 1-9.
Juliyani, E. (2016). Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam. Jurnal Ummul Qura, 7 (1), 63-74.
Mardatillah, A. (2013). Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam. JIS, 6(1), 89-98.
Putritama, P. (2018). Penerapan Etika Bisnis Islam Dalam Industri Perbankan Syariah. Jurnal Nominal, 7 (1), 1-20.

Rahmah, R. A. (2016). Etika dan Manajemen Bisnis Islam (Studi Kasus di Waroeng Steak and Shake Cabang SM Raja Medan). J-EBIS, 2(2), 1-25.