Logo Hitam Putih Universitas Tarumanegara Kampus (UNTAR)


Ketenagakerjaan dan Pengupahan di Indonesia


BAB I

PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang

Tenaga kerja adalah pelaku pembangunan dan pelaku ekonomi baik secara individu maupun secara kelompok, sehingga mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam aktivitas perekonomian nasional, yaitu meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan masyarakat. Indonesia, tenaga kerja di Indonesia sebagai salah satu penggerak tata kehidupan ekonomi dan merupakan sumber daya yang jumlahnya cukup melimpah.
Pasar tenaga kerja, seperti pasar lainnya dalam perekonomian dikendalikan oleh kekuatan penawaran dan permintaan, namun pasar tenaga kerja berbeda dari sebagian besar pasar lainnya karena permintaan tenaga kerja merupakan tenaga kerja turunan (derived demand) dimana permintaan akan tenaga kerja sangat tergantung dari permintaan akan output yang dihasilkannya (Borjas,2010:88; Mankiw,2006:487). Dalam suatu proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa, tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi tersebut. Dengan menelaah hubungan antara produksi barang-barang dan permintaan tenaga kerja, akan dapat diketahui faktor yang menentukan upah keseimbangan.
Mengacu pada teori di atas, maka kelompok kami akan membahas mengenai “Ketenagakerjaan dan Pengupahan di Indonesia”.

1.2        Rumusan Masalah

a)      Apa yang dimaksud ketenagakerjaan?
b)      Apa yang dimaksud pengupahan?


 

BAB II

PEMBAHASAN

2.1        Pengertian Ketenagakerjaan

Pada awalnya hukum ketenagakerjaan disebut hukum perburuhan, dan sekarangpun keduanya masih dipakai baik oleh para ahli hukum maupun dunia akademik, dimana hukum perburuhan berasal dari kata “arbeidsrecht”. Kata arbeidsrechtitu sendiri, banyak batasan pengertiannya.[1]
Menyamakan istilah buruh dengan pekerja. Dalam pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, istilah tenaga kerja mengandung pengertian yang bersifat umum yaitu, setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat.[2] Seringkali terjadi salah kaprah seakan-akan yang disebut pekerja/ buruh/karyawan adalah orang-orang yang bekerja di pabrik, para cleaning service dan staf-staf administrasi di kantor-kantor. Sedangkan para manager dan kepala-kepala bagian, para direktur bukan sebagai pekerja. Dalam hukum ketenagakerjaan pekerja adalah Setiap orang yang bekerja pada orang lain dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Imbalan dalam bentuk lain yang dimaksud adalah berupa barang atau benda yang nilainya ditentukan atas dasar kesepakatan pengusaha dan pekerja.[3]
Ketenagakerjaan diatur dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003, yang diundangkan pada lembaran negara tahun 2003 Nomor 39 pada tanggal 25 Maret 2003, dan mulai berlaku pada tanggal diundangkan itu, pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur dan merata, baik materil maupun spiritual (Penjelasan Umum atas UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).[4]
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah merumuskan pengertian istilah ketenagakerjaan sebagai segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Dari pengertian ini, dapat dipahami bahwa, yang diatur dalam UU ketenagakerjaan adalah segala hal yang berkaitan dengan pekerja/buruh, menyangkut hal-hal sebelum masa kerja, antara lain; menyangkut pemagangan, kewajiban mengumumkan lowongan kerja, dan lain-lain.
Kemudian Pasal 1 angka 13 memberikan definisi tentang tenaga kerja asing, yaitu warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia,[5] orang asing dapat diberi pengertian, yaitu orang yang bukan warga negara Indonesia dan sedang berada di Indonesia, pengertian orang asing termasuk pula badan hukum asing yaitu badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum asing, sehubungan dengan pengertian itu Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2006 menyebutkan setiap orang yang bukan warga negara Indonesia diperlakukan sebagai orang asing.[6]
Terkait definisi tenaga kerja asing yang lainnya ialah orang yang meninggalkan tempat asalnya dan pindah tempat kerja lain. Pekerja asing merujuk kepada pekerja yang meninggalkan negara asal, melintasi batas negara dan bekerja dinegara lain, Pekerja asing adalah pekerja yang pindah dari tempat asal ke tempat lain dalam negara mereka untuk bekerja.[7]
Mengenai penggunaan tenaga kerja asing dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan diatur dalam pasal 42 hingga pasal 49. Pasal 42 intinya menyatakan bahwa setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari menteri atau penjabat yang ditunjuk. Pemberi kerja orang perseorangan dilarang memperkerjakan tenaga kerja asing dan tenaga kerja asing tersebut dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.[8]
Orang asing yang berada di Indonesia pada prinsipnya dapat menjadi WNI (Warga Negara Indonesia). Prinsip ini terdapat pada Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2006 yang menyatakan, bahwa yang menjadi WNI adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara Indonesia.[9]
Pihak dalam hukum ketenagakerjaan sangat luas, yaitu tidak hanya pengusaha dan pekerja/ buruh saja tetapi juga pihak-pihak lain yang terkait. Luasnya para pihak ini karena masing-masing pihak yang terkait dalam hubungan industrial saling berinteraksi sesuai dengan posisinya dalam mengahasilkan barang dan/jasa. Para pihak dalam hukum ketenagakerjaan tersebut adalah pekerja/buruh, pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, organisasi pengusaha, dan pemerintah/penguasa.11 [10]
Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/ buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan. Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja selama, sebelum dan sesudah masa kerja tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup pengembangan sumber daya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaan hubungan Industrial. [11]

2.1.1       Landasan, Asas, dan Tujuan Pembangunan Ketenagakerjaan

Menurut pasal 2 UUNo. 13/Tahun 2003 menyatakan bahwa Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,[12] diantaranya ialah:
1.      Pancasila, yang terdiri dari
a.       Ketuhanan yang Maha Esa
b.      Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
c.       Persatuan Indonesia
d.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusawaratan / perwakilan.
e.       Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2.      Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945
a.       Pasal 27 ayat 2 UUD 1945
b.      Pasal 28H ayat 1 UUD 1945
c.       Pasal 28H ayat 2 UUD 1945
d.      Pasal 28H ayat 3 UUD 1945
e.       Pasal 28H ayat 4 UUD 1945
f.       Pasal 28I ayat 2 UUD 1945
Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, makmur, dan merata baik materil maupun spiritual.[13]
Penjelasan pasal 3 UU No. 13/Tahun 2003 menyatakan bahwa asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi pancasila serta asas adil dan merata. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan berbagai pihak, yaitu antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja/ buruh. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerja sama yang saling menguntungkan.
Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah (pasal 3 UU No. 3/ Tahun 2003). Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 4 UU No. 13 Tahun 2003 pembangunan ketenagakerjaan bertujuan:
a.       memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
b.      mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembanguanan nasional dan daerah;
c.       memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan;
d.      meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.[14]

2.1.2       Ruang Lingkup Hukum Ketenagakerjaan

Ruang lingkup hukum ketenagakerjaan berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.Menurut teori Gebiedsleer dari JHA logeman lingkup berlakunya hukum adalah suatu keadaan/bidang dimana kaedah itu berlaku. Ada 4 lingkup berlaku hukum:
1.      Lingkup berlaku pribadi: berkaitan dengan pengaturan siapa atau apa, yaitu:
a.       Buruh- pribadi kodrati
b.      Pengusaha- pribadi hokum
c.       Pemerintah-jabatan
2.      Lingkup waktu menurut waktu: menunjukan kapan suatu peristiwa tertentu diatur oleh kaedah hukum, yaitu:
a.       Sebelum hubungan kerja
b.      Saat hubungan kerja
c.       Sesudah hubungan kerja
3.      Lingkup berlaku wilayah: lingkup berlaku menurut wilayah adalah wilayah terjadinya suatu peristiwa hukum yang dibatasi oleh kaedah hukum, yaitu:
a.       Regional: Non sektoral regional dan sektoral regional
b.      Nasional: Non sektoral nasional dan sektoral nasional
4.      Lingkup berlaku menurut hal: lingkup berlaku menurut hal ihwal adalah berkaitan dengan hal-hal apa saja yang menjadi objek pengaturan dari suatu kaedah yang antara lain meliputi:
a.       Pengarahan dan pendayagunaan tenaga kerja
b.      Hubungan kerja
c.       Keselamatan dan kesehatan kerja (K3)
d.      Jamsostek (jaminan sosial tenaga kerja)
e.       PHK dan PPHI (pemutusan hubungan kerja dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial)[15]

2.1.3       Sejarah Ketenagakerjaan di Indonesia

2.1.3.1  Zaman Sebelum Kemerdekaan

Riwayat perburuhan sama artinya dengan membicarakan sejarah hubungan perburuhan di Indonesia sejak zaman penjajahan sampai dengan masa sekarang ini. Dalam berbagai literatur yang paling banyak dibicarakan adalah riwayat hukum perburuhan pada zaman penjajahan Belanda, sedangkan pada zaman penjajahan Jepang sangat sedikit dijumpai, hal ini disebabkan karena pemerintah Jepang di Indonesia pada masa itu hanya bertujuan untuk mencari tentara untuk melawan sekutu, disamping adanya tujuan politis lainnya sehingga mengenai masalah perburuhan tidak diperhatikan sama sekali.[16]
a.       Zaman perbudakan
Yaitu zaman seseorang memiliki budak. Secara filosofis budak merupakan manusia yang kemerdekaannya terbatas, dan secara yuridis budak tidak lain daripada barang milik orang lain yang dapat dikuasai secara mutlak dan tidak terbatas, baik didalam kehidupan sosiologis maupun ekonomis bahkan sampai hidup matinya. Keadaan budak di Indonesia masih lebih baik jika dibandingkan dengan negara lain, berkat aturan tata susila yang kental dalam masyarakat Indonesia. Perbudakan di Indonesia secara resmi dilarang pada tahun 1922.
b.      Pekerjaan Rodi
Awalnya merupakan kebiasaan masyarakat dalam melakukan pekerjaan secara bersama-sama, kerja bakti/gotong royong, yang dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial belanda untuk melakukan pekerjaan demi kepentingannya. Sebagai contoh kerja rodi terjadi pada zaman Hendrik Willem Daendels (1807/1811), yaitu kerja paksa membuat jalan raya anyer s/d Banyuwangi.[17]
c.       Poenale sanki
Poenale sanki memberikan kekuasaan bagi majikan untuk berlaku tidak baik terhadap buruh serta menciptakan keadaan perburuhan yang buruk. Sebagai contoh pada tahun 1903 terjadi pemerasan tenaga buruh. Penganiayaan dan penyalahgunaan pengadilan. Pengenaan hukuman kepada buruh yang tidak melaksanakan pekerjaan, meninggalkan atau menolak melakukan pekerjaan disebut dengan Poenale sanki. Pencabutan “koeli ordonantie” terjadi tahun 1941 dan 01 Januari 1942 poenale sanki lenyap dari perburuhan perkebunan Indonesia.24 [18]
Hakikat poenale sanctie ini sebetulnya tidak semata-mata terletak pada pidana denda antara Rp. 16,- dan Rp. 25,-. Sebab, dalam perjanjian atau peraturan-majikan, dapat pula ditetapkan suatu denda tertentu bila pihak buruh menyalahi isi perjannjian kerja. Pokok persoalan sebenarnya adalah kemungkinan diangkutnya kembali pekerja/ buruh ke tempat pekerjaan untuk melakukan pekerjaan yang melanggar asas hukum, yaitu: orang yang tidak memenuhi kewajibannya harus bertanggung jawab hanya dengan kekayaannya, tidak dengan paksaan melakukan sendiri.[19]

2.1.3.2  Zaman Sesudah Kemerdekaan

Kemerdekaan negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan babak baru perlindungan terhadap buruh/ pekerja, sebab dengan kemerdekaan berarti berlakunya tata hukum negara Indonesia merdeka dan tidak berlakunya lagi tata hukum pemerintah kolonial. Namun berdasarkan pasal II aturan peralihan UUD 1945 masih banyak peraturan perundang-undangan warisan kolonial masih tetap berlaku , tetapi secara berangsur-angsur diperbaharui dan digantikan oleh produk bangsa Indonesia sendiri.[20]
Baru setelah Indonesia mempertahankan kedaulatannya tahun 1954 terlihat keadaan yang berubah dalam hubungan perburuhan. Hal ini terlihat dari usaha pemerintah yang mulai memperhatikan tentang nasib para buruh/ pekerja dengan dikeluarkannya berbagai peraturan perundang misalnya: Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 yang merupakan Undang-undang kerja yang diperkuat dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1951 yang dinyatakan berlaku untuk seluruh Indonesia.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1948 tentang pengawasan perburuhan yang kemudian diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 yang dinyatakan berlaku untuk seluruh Indonesia. Undang-undang No 23 tahun 1953 tentang kewajiban melaporkan perusahaan.
Undang-undang No. 21 tahun 1954 tentang perjanjian perburuhan antara serikat buruh dengan pengusaha.Undang-Undang No. 2 tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan.Undang-Undung Nomor 12 tahun 1964 tentang pemutusan hubungan kerja diperusahaan swasta.Undang-undang Nomor 14 tahun 1969 mengenai ketentuan pokok mengenai tenaga kerja.
Undang-undang No 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja, selanjutnya dikeluarkan pula peratun pemerintah No 7 tahun 1948 yang memberlakukan Undang-Undang kerja tahun 1948, peraturan pemerintah Nomor 13 Tahun 1950 tentang waktu kerja dan waktu istirahat, peraturan pemerintah Nomor 21 Tahun 1954 tentang istirahat tahunan bagi buruh/pekerja, peraturan pemerintah Nomor 41 Tahun 1953 tentang kewajiban melaporkan perusahaan dan sehubungan dengan Undang-Undang kecelakaan Nomor 33 Tahun 1947 telah diadakan peraturan pemerintah Nomor 2 Tahun 1948 tentang peraturan kecelakaan, peraturan menteri tenaga kerja tentang pertanggungan, sakit, hamil, bersalin dan meninggal dunia, serta peraturan pemerintah Nomor 33 Tahun 1977 tentang asuransi sosial tenaga kerja.
Usaha lebih lanjut yang diambil oleh pemerintah Indonesia antara lain dengan meratifikasi hasil konveksi ILO, antara lain konveksi Nomor 98 Tahun 1949 mengenai dasar-dasar daripada hak untuk berorganisasi dan untuk berunding bersama (LN RI Nomor 42 Tahun 1956). Konveksi Nomor 100 Tahun 1951 tentang pengupahan yang sama bagi buruh laki-laki dan wanita untuk satu pekerjaan yang sama (LN RI Nomor 171 Tahun 1957) Konveksi Nomor 106 Tahun 1957 istirahat mingguandalam perdagangan dan kantor-kantor (LN RI Nomor 14 Tahun 1961) Konveksi Nomor 120 Tahun 1964 tentang hygiene dalam perniagaan dan kantor-kantor (LN RI Nomor 14 Tahun 1961).[21]
Kemudian dalam era tahun 2000-an sebagian besar dari undang-undang tersebut dicabut dan dig anti. Undang-Undang di era 20 tersebut adalah:
a.       Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja/ serikat buruh;
b.      Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan;
c.       Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.[22]
Itulah antara lain peraturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia untuk memperbaiki para buruh/pekerja ditanah air kita, dan dengan sendirinya peraturan tersebut telah disesuaikan dengan jiwa pancasila dan UUD 1945, juga dengan pengeratifikasian hasil konvensi ILO dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa pancasila dan UUD 1945.[23]
Semakin ketatnya persaingan global berdampak pada mobilitas tenaga kerja antarnegara. Belakangan, publik Indonesia hangat dengan isu banyaknya tenaga kerja asing yang masuk negeri ini. Istilah Tenaga Kerja Asing (TKA) sudah menjadi fenomena yang lumrah. Dilihat dari perkembangannya, latar belakang digunakannya tenaga kerja asing di Indonesia mengalami perubahan sesuai zamannya. Ketika Belanda membuka perkebunan besar di beberapa daerah di Indonesia,seperti Sumatera Timur, alasan kelangkaan sumber daya manusia sebagai pekerja/buruh yang mendorong pemerintah Belanda ketika itu mendatangkan pekerja asing dari negara lain. Kini, dengan semakin berkembangnya IPTEK, maka alasan kebutuhan akan tenaga kerja yang memiliki keahlian dalam bidang tertentu menjadi alasan utama digunakan tenaga kerja asing.
Tujuan pengaturan mengenai tenaga kerja asing ditinjau dari aspek hukum ketenagakerjaan, pada dasarnya adalah untuk menjamin dan memberi kesempatan kerja yang layak bagi warga negara Indonesia diberbagai lapangan dan level. Karenanya, dalam memperkerjakan tenaga kerja asing di Indonesia dilakukan melalui mekanisme dan prosedur yang ketat dimulai dengan seleksi dan prosedur perizinan hingga pengawasan.
Berlakunya UU 13 Tahun 2003 telah mencabut UU No. 3 Tahun 1958 tentang penempatan Tenaga Kerja Asing di Indonesia. Bab VIII Pasal 42 sampai 49, UU 13 Tahun 2003 menjadi acuan dasar dalam hal penempatan tenaga kerja asing di Indonesia dan saat ini telah ditambah berbagai peraturan pelaksana.[24]

2.2         Definisi upah

Tenaga kerja merupakan faktor produksi kedua yang dianggap paling penting, sebab melalui jasa tenaga kerja inilah sumber daya alam dapat berubah menjadi hasil produksi yang bernilai. Untuk itu, atas pengorbanan dan kerjanya tenaga kerja berhak mendapatkan balas jasa dari majikan atau perusahaannya berupa penghasilan dalam bentuk upah.
Dalam teori ekonomi, upah secara umum dimaknai sebagai harga yang dibayarkan kepada pekerja atas jasanya dalam produksi kekayaan seperti faktor produksi lainnya. Tenaga kerja diberikan imbalan atas jasanya yang disebut upah.[25] Sementara Sadono Soekirno mendefinisikan upah sebagai pembayaran yang diperoleh berbagai bentuk jasa yang disediakan dan diberikan oleh tenaga kerja kepada para pengusaha.[26] Sedang T. Gilarso memaknai upah sebagai balas karya untuk faktor produksi tenaga kerja manusia, yang secara luas mencakup gaji, honorarium, uang lembur, tunjangan, dan lain-lain.[27]
Secara lebih jelas pengertian tentang upah dipaparkan dalam Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Dalam pasal 1 Undang-Undang tersebut dikatakan bahwa upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.[28]
Selain upah, ada beberapa istilah yang sering dipakai untuk menunjuk makna yang sama, yaitu kompensasi dan imbalan. Secara umum, para ahli ekonomi mempersamakan ketiga istilah tersebut. Namun dalam manajemen sumber daya manusia modern, istilah imbalan dan kompensasi lebih banyak digunakan. Jusmaliani dan Sondang P. Siagian dalam buku mereka menggunakan istilah sistem imbalan. Upah dan gaji menurut mereka merupakan salah satu komponen imbalan, disamping imbalan yang dalam bentuk lain seperti insentif, bonus, remunerasi, tunjangan dan fasilitas sosial lainnya.[29]
Kompensasi, menurut Handoko, sebagaimana dikutip oleh Edy Sutrisno, adalah segala sesuatu yang diterima oleh karyawan sebagai balas jasa untuk kerja mereka. Kompensasi dapat diberikan dalam berbagai macam bentuk: pertama pemberian uang, seperti gaji, tunjangan dan insentif, kedua pemberian material dan fasilitas, dan ketiga pemberian kesempatan berkarir. Gaji adalah kompensasi yang diberikan kepada karyawan atau pekerja secara periodik, sedang upah adalah kompensasi yang diberikan berdasarkan hasil kerja tertentu, tidak secara periodik. Tunjangan adalah kompensasi yang diberikan perusahaan kepada karyawannya, karena karyawan tersebut dianggap telah ikut berpartisipasi dengan baik dalam mencapai tujuan perusahaan. Sedang insentif adalah kompensasi yang diberikan kepada karyawan tertentu, karena keberhasilan atau prestasinya.[30]
Sedang Veithzal Rivai mengatakan bahwa kompensasi adalah sesuatu yang diterima karyawan sebagai pengganti kontribusi jasa mereka pada perusahaan. Kompensasi terdiri dari kompensasi finansial dan kompensasi non finansial. Kompensasi finansial terdiri dari kompensasi langsung dan tidak langsung. Kompensasi finansial langsung terdiri dari upah, gaji, bonus atau komisi. Sedang kompensasi finansial tidak langsung terdiri dari semua pembayaran yang tidak tercakup dalam kompensasi finansial langsung, yang meliputi: liburan, berbagai jenis asuransi, jasa dan lain sebagianya. Sedang kompensasi non finansial seperti pujian, menghargai diri sendiri, dan pengakuan yang dapat mempengaruhi motivasi kerja karyawan, produktivitas dan kepuasan.[31]
Dalam disertasi ini, peneliti menggunakan kata upah, dari pada kata imbalan dan kompensasi. Penggunaan istilah ini dengan pertimbangan bahwa istilah upah ini yang digunakan dalam ilmu ekonomi dan dalam regulasi peraturan perundang-undangan ketenaga kerjaan di Indonesia.

2.2.1       Jenis-jenis upah

2.2.1.1  Upah nominal

Yang dimaksud dengan upah nominal ialah sejumlah uang yang dibayarkan kepada karyawan yang berhak secara tunai sebagai imbalan atas pengerahan jasa-jasa atau pelayanannya sesuai dengan ketentuanketentuan yang terdapat dalam perjanjian kerja dibidang industri atau perusahaan ataupun dalam suatu organisasi kerja, dimana kedalam upah tersebut tidak ada tambahan atau keuntungan yang lain yang diberikan kepadanya. Upah nominal ini sering pula disebut upah uang (money woges) sehubungan dengan wujudnya yang memang berupa uang secara keseluruhannya.

2.2.1.2  Upah nyata (real woges)

Yang dimaksud dengan upah nyata adalah upah uang yang nyata yang benar-benar harus diterima oleh seseorang yang berhak. Upah nyata ini ditentukan oleh daya beli upah tersebut yang akan banyak tergantung dari :
a.       Besar atau kecilnya jumlah uang yang diterima
b.      Besar atau kecilnya biaya hidup yang diperlukan.
Adakalanya upah itu diterima dalam wujud uang dan fasilitas atau in natura, maka upah nyata yang diterimanya yaitu jumlah upah uang dan nilai rupiah dari fasilitas tersebut.

2.2.1.3  Upah hidup

Dalam hal ini upah yang di terima seorang karyawan iturelatif cukup untuk membiayai keperluan hidup yang lebih luas,tidak hanya kebutuhan pokok nya saja yang dapat dipenuhi melainkan juga sebagian dari kebutuhan sosial keluarganya, misalnya iuran asuransi jiwa, pendidikan dan beberapa lainnya.

2.2.1.4  Upah minimum (minimum wages)

Sebagai yang diterangkan bahwa pendapatan yang dihasilkan para karyawan dalam suatu perusahan sangat beperan penting. Dalam hal ini maka upah minimum sebaiknya dapat mencukupi kebutuhan- kebutuhan hidup karyawan beserta keluarganya,walaupun dalam arti yang sederhana,cost of living perlu diperhatikan dalam penentuan upah.
Tujuan utama penentuan upah minimum yaitu:
1.      Menonjolkan arti dan peranan tenaga kerja(buruh atau karyawan) sebagai sub sistem yang kreatif dalam suatu sistem kerja.
2.      Melindungi kelompok kerja dari adanya sistem pengupahan yang sangat rendah dan yang keadaannya secara material yang kurang memuaskan
3.      Mendorong kemungkinan diberikannya upah yang sesuai dengan nilai pekerjaan yang dilakukan setiap pekerja.
4.      Mengusahankan terjaminnya ketenangan atau kedamaian dalam bekerja

2.2.1.5  Upah wajar (fair wages)

Upah wajar dimaksudkan sebagai upah yang secara relative dinialai cukup wajar oleh pengusaha dan para karyawan sebagai uang imbalan atas jasa-jasa yang diberikan karyawan kepada perusahaannya, sesuai dengan perjanjian kerja diantara mereka.
Upah yang wajar ini tentunya sangat bevariasi dan bergerak antara upah minimum dan upah hidup, yang diperkirakan oleh pengusaha cukup untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan karyawan dan keluarganya (disamping mencukupi kebutuhan pokok juga beberapa kebutuhan pangan lainnya tansportasi dan sebagainya).
Upah yang diberikan kepada karyawan lazimnya berwujud uang, akan tetapi menurut pasal 1601-p KUH perdata upah itu dapat berwujud pula sebagai :
a.       Makanan yang harus dimakan atau bahan pangan, bahan penerangan, bahan bakar
b.      Pakaian seragam atau pakaian kerja
c.       Hasil perusahaan yang ditentukan bagi karyawan atau buruh
d.        Pemberian upah selama masa cuti dan lain-lain.[32]
Mengenai upah berupa uang, KUHPa pasal 1602h menetapkan bahwa pembayarannya harus dilakukan dalam alat pembayaran yang sah di Indonesia,artinya dalam mata uang Indonesia.jika upah itu ditetapkan dengan mata uang asing, perhitungannya dilakukan menurut kurs pada waktu dan tempat dilakukan pembayaran.
KUHPa menetapkan bahwa upah yang ditetapkan menurut jangka waktuharus dibayar disaat buruh mulai bekerja sampai saat berakhirnya hubungan kerja. Dengan demikian jika hubungan kerja berakhir sebelum waktunya dan juga jika berakhir dalam suatu jangka waktu pembayaran,perusahaan wajib membayar upah untuk semua hari buruh atau kayawan bekerja.
Biasanya upah itu besarnya dan bentuknya ditetapkan dalam perjanjian kerja itu sendiri atau dalam peraturan upah yang ditetapkan oleh pengusaha atau dalam perjanjian kerja. Upah bagi karyawan merupakan satu-satunya bekal hidup baginya dan keluarganya.karena itu diadakan berbagai ketentuan dalam perundangundangan sebagai jaminan bahwa upah itu benar-benar akan dibayarkan oleh perusahaan dan diterima oleh karyawan itu sendiri.[33]

2.2.2       Penetapan Pengupahan

Menurut undang-undang kecelakaan nomor 33 tahun 1947, yang dimaksud dengan istilah upah adalah :
a.       Tiap pembayaran berupa uang yang diterima oleh karyawan itu adalahsebagai ganti pekerjaan yang dikerjakannya.
b.      Makan, seragam, dan uang transportasi yang nilainya dapat ditaksir menurut harga umum diperusahaan dimana karyawan bekerja ditempat itu adalah termasuk sebagian dari bentuk upah
Menurut peraturan perundang-undangan nomor 13 tahun 2003 pasal 88 tentang upah yaitu :
1.      Setiap pekerja atau karyawan berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
2.      Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja atau karyawan.
3.      Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja atau karyawan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi :
a.       Upah minimum
b.      Upah kerja lembur
c.       Upah tidak masuk kerja karena berhalangan
d.      Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain diluar pekerjaannya
e.       Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya
f.       Bentuk dan cara pembayaran upah
g.      Denda dan potongan upah
h.      Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah
i.        Struktur dan skala pengupahan yang proporsional
j.        Upah untuk pembayaran pesangon, dan
k.      Upah untuk penghitungan pajak penghasilan.
Upah tidak dibayar apabila pekerja atau karyawan tidak melakukan pekerjaan, dalam ketentuan ini dapat dijelaskan dalam undang-undang nomor 13 tahun 2003 pasal 93 bahwa :
1.      Upah tidak dibayar apabila pekerja atau karyawan tidak melakukan pekerjaan
2.      Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku dan perusahaan wajib membayar upah apabila :
a.       Pekerja atau karyawan sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan
b.      Pekerja atau karyawan yang sakit pada hari pertama dan kedua sakit sehingga tidak bisa masuk bekerja
c.       Karyawan tidak masuk bekerja karena karyawan yang bersangkutan menikah, menikahkan, mengkhitankan, istrinya melahirkan, atau salah satu dari keluarganya ada yang meninggal dunia
d.      Karyawan tidak dapat masuk bekerja karena sedang menjalankan kewajiban terhadap Negara
e.       Karyawa tidak bisa masuk bekerja Karena menjalankan ibadah yang diperintah agamanya
f.       Karyawan bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi perusahaan tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari perusahaan
g.      Karyawan melaksanakan hak istirahat
h.      Karyawan melakukan tugas pendidikan dari perusahaan
3.      Upah yang dibayar kepada karyawan yang sakit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a sebagai berikut :
a.       Untuk 4 bulan pertama karyawan sakit, dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah
b.      Untuk 4 bulan kedua karyawan sakit, dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah
c.       Untuk 4 bulan ketiga karyawan masih sakit, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah, dan
d.      Untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh perusahaan.
4.      Upah yang dibayarkan kepada pekerja atau buruh yang tidak masuk bekerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c sebagai berikut :
a.       Pekerja atau karyawan menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari
b.      Menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari
c.       Mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari
d.      Istri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari
e.       Salah satu keluarga yang meninggal dunia, dibayar untuk selama 2 (dua) hari, dan
f.       Anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1 (satu) hari.
Dalam pengertian “tidak melakukan pekerjaan” tidak termasuk “melakukan pekerjaan dengan tidak baik”, “tidak melakukan kewajiban tambahan, namun ada berbagai pengecualian karyawan tidak bisa melakukan pekerjaan tetapi tetap mendapatkan upah, dapat diuraikan bahwa : dalam hal karyawan karena sakit atau kecelakaan sehingga berhalangan melakukan pekerjaan (pasal 1602c). dengansakit harus diartikan keadaan badaniah atau rohaniah yang mengakibatkan karyawan terhalang melakukan pekerjaan, sehingga mengakibatkan karyawan tidak masuk bekerja. Tetapi dalam hal seperti ini tidak membawa akibat bahwa karyawan kehilangan haknya atas upah yang akan diterimanya.
Dalam undang-undang kecelakaan menetapkan bahwa kepada karyawan yang sementara tidak mampu bekerja diberikan tunjangan yang sama besarnya dengan upah, terhitung mulai pada hari karyawan tidak menerima upah lagi untuk palinga lama 120 hari. Jika sesudah 120 hari
karyawan masih belum mampu bekerja, diberikan 50% sampai karyawan mampu lagi bekerja. Selanjutnya upah dipotong dengan jumlah biaya (upah pokok) yang dapat dihemat oleh karyawan karena tidak melakukan pekerjaan selama ia sakit. Biaya ini adalah biaya yang benar-benar dihemat. Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah pokok dan tunjangan tetap.
Dalam sistem pengupahan merupakan kerangka bagaimana upah diatur dan ditetapkan sistem. Pengupahan di Indonesia pada umumnya didasarkan kepada tiga fungsi upah, yaitu :
a.       Menjamin kehidupan yang layak bagi pekerja dan keluarganya
b.      Mencerminkan imbalan atas hasil kerja seseorang
c.       Menyediakan insentif untuk mendorong peningkatan produktivitas kerja.
Penghasilan atau imbalan yang diterima seseorang karyawan atau pekerja sehubungan dengan pekerjaannya dapat digolongkan kedalam bentuk, yaitu :
a.       Upah atau gaji dalam bentuk uang
b.      Tunjangan dalam bentuk natura
c.       Fringe benefit, dan
d.        Kondisi lingkungan kerja.
Mengenai upah, seperti pada saat sekarang ini masih banyak juga peusahaan-perusahaan atau pengusaha lain yang masih belum menerapkan upah standar (upah minimum) kepada karyawan, padahal apa yang dikerjakan karyawan untuk perusahaan atau tempat dimana ia bekerja sudah melakukan yang terbaik untuk perusahaannya. Pembayaran upah dalam sebulan kerja kepada karyawan diatas upah standar atau upah dasar (minimun) sering digunakan dalam penentuan kebijakan upah terakhir, dengan dasar perbandingan tiap jam kerja. Menggunakan cara ini adalah untuk memudahkan konsekuen promosi (karier) yang lebih meningkat. Hal ini, adalah penting karena bagaimanapun dapat membedakan antara upah, penghasilan dan pendapatan.
Upah biasanya ditetapkan oleh kedua belah pihak dalam perjanjian kerja, dalam peraturan upah, ada kemungkinan bahwa dalam perjanjian atau peraturan tidak terdapat ketentuan mengenai upah itu. Dalam hal upah tidak ditetapkan dalam perjanjian kerja, pada umumnya ditarik kesimpulan bahwa kedua belah pihak telah bersepakat bahwa penetapan upah akan dilakukan oleh pengusaha secara sepihak.
KUHD pasal 402 secara tegas menetapkan bahwa penetapan upah berupa uang yang akan dibayarkan, tidak dapat diserahkan kepada salah satu pihak. Besarnya upah berupa uang harus ditetapkan dalam perjanjian-kerja dan tidak boleh diubah yang dapat merugikan karyawan





BAB III

PENUTUP

3.1         Kesimpulan

Pada awalnya hukum ketenagakerjaan disebut hukum perburuhan, dan sekarangpun keduanya masih dipakai baik oleh para ahli hukum maupun dunia akademik, dimana hukum perburuhan berasal dari kata “arbeidsrecht”. Kata arbeidsrechtitu sendiri, banyak batasan pengertiannya. Istilah tenaga kerja mengandung pengertian yang bersifat umum yaitu, setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat.
Upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

Daftar Pustaka


Adawiyah, Robiatul. 2016. Analisis Terhadap Perubahan Ketentuan Pengupahan di Indonesia
      Melalui Teori Maslahah Mursalah
. Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah.
Ibrahim, Zulkarnain. 2013. Eksistensi Hukum Pengupahan yang Layak Berdasarkan Keadilan
      Substantif
. Jurnal Dinamika Hukum.
Priyono, Edy. 2002. Situasi Ketenagakerjaan Indonesia dan Tinjaun Kritis Terhadap Kebijakan
      Upah Minimum
. Jurnal Analisis Sosial.
Randang, Frankiano B. 2011. Kesiapan Tenaga Kerja Indonesia dalam Menghadapi Persaingan
      dengan Tenaga Kerja Asing
. Jurnal Ilmiah Hukum.
Riyadi, Fuad. 2015. Sistem dan Strategi Pengupahan Perspektif Islam. Iqtishadia.
Sulistiawati, Rini. 2012. Pengaruh Upah Minimum terhadap Penyerapan Tenaga Kerja dan
      Kesejahteraan Masyarakat di Provinsi di Indonesia
. Jurnal Eksos.



[1] Dede Agus, Hukum Ketenagakerjaan, (Banten: Dinas Pendidikan Provinsi Banten, 2011), h. 1
[2] Moch. Faisal Salam, Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Industrial di Indonesia, (Bnadung: Mandar Maju, 2009) h. 43
[3] Libertus Jehani, Hak-Hak Pekerja Bila di PHK, (Tangerang: Visi Media, 2006), h. 1
[4] Hardijan Rusli, Hukum Ketenagakerjaan 2003, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), h. 9
[5] 6Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perbankan Syriah UU NO. 21 Tahun 2008, (Bandung: PT Refika Aditama, 2009) h. 76 
[6] Gatot Supramono, Hukum Orang Asing di Indonesia, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2014) h. 4 
[7] Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Himpunan Peraturan Perundang- Undang Tentang Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Industrial, (Banten: Pemerintah Provinsi Banten, 2015) h. 562 
[8] Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perbankan Syariah UU NO. 21 Tahun 2008, … … , h. 76 
[9] Gatot Supramono, Hukum Orang Asing di Indonesia, … … , h. 5 
[10] Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2007), h. 11 
[11] Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Himpunan Peraturan Perundang- Undang Tentang Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Industrial,… …, h. 71 
[12] Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Himpunan Peraturan Perundang- Undang Tentang Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Industrial, … … , h. 6 
[13] UU Ketenagakerjaan 2003 , (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2007) h. 87 
[14] Asri Wijayanti, Hukum Ketenagkerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014) h.7 
[15] Dede Agus, Hukum Perburuhan Konvensi Dasar ILO, (Serang: Dinas Pendidikan Provinsi Banten, 2012) h. 25 
[16] Moch. Faisal Salam, Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Industrial di Indonesia, (Bandung: Maju Mundur, 2009) h. 29 
[17] Dede Agus, Hukum Perburuhan Konvensi Dasar ILO, … …., h. 16 
[18] Dede Agus, Hukum Perburuhan Konvensi Dasar ILO, … …., h. 17 
[19] Agusmidah, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Dinamika dan Kajian Teori, … …, h 22 
[20] Dede Agus, Hukum Perburuhan Konvensi Dasar ILO, … …., h. 15 
[21] Moch. Faisal Salam, Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Industrial di Indonesia, … …, h. 39 
[22] Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, … …, h. 16 
[23] Moch. Faisal Salam, Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Industrial di Indonesia, … …, h. 40 
[24] Agusmidah, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Dinamika dan Kajian Teori, ... …, h. 111 
[25] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam. Jilid. 2, 361
[26] Sadono Sukirno, Mikro Ekonomi, Teori Pengantar, Edisi III (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), 350
[27] T. Gilarso, Pengantar Ilmu Ekonomi Mikro (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 211
[28] Lihat: Pasal 1 poin 30 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
[29] Lihat: Jusmaliani, Pengelolaan Sumber Daya Insani (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 116-127; Sondang P. Siagian, Manajemen Sumber Daya Manusia (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), 252-284
[30] Edy Sutrisno, Manajemen Sumber Daya Manusia (Jakarta: Kencana, 2011), 183
[31] Veithzal Rivai, Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Perusahaan: dari Teori ke Praktek
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 357
[32] Kartasapoetra, Hukum Perburuhan di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994) hal. 99-106.
[33] Iman Soepomo. Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja,(Jakarta : djambatan,1999). h. 108