BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Kata murabahah secara bahasa adalah bentuk mutual (bermakna:
saling) yang diambil dari bahasa Arab, yaitu arribhu ( الربح ) yang berarti kelebihan
dan tambahan (keuntungan). Jadi, murabahah diartikan dengan saling menambah (menguntungkan).
Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah jual beli dengan modal
ditambah keuntungan yang diketahui. Hakikatnya adalah menjual barang dengan
harga (modal) yang diketahui penjual dan pembeli dengan tambahan keuntungan
yang jelas. Jadi, murabahah artinya saling mendapatkan keuntungan. Dalam ilmu
fiqih, murabahah diartikan menjual dengan modal asli bersama tambahan
keuntungan yang jelas. Di dalam al-Qur’an kata ribh dengan makna keuntungan
dapat ditemukan pada surat al-Baqaraħ ayat 16 yang artinya :
”Mereka itulah orang yang membeli kesesatan
dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka
mendapat petunjuk”.
(QS. Al-Baqarah : 16)
Dalam konteks mu’amalah, kata murabahah
biasanya diartikan sebagai jual beli yang dilakukan dengan menambah harga awal.
Secara terminologi, yang dimaksud dengan murabahah adalah pembelian barang
dengan pembayaran yang ditangguhkan (1 bulan, 2 bulan, 3 bulan dan seterusnya tergantung
kesepakatan). Pembiayaan murabahah diberikan kepada nasabah dalam rangka
pemenuhan kebutuhan produksi (inventory).
Hedging adalah strategi trading untuk
“membatasi” atau “melindungi” dana trader dari fluktuasi nilai tukar mata uang
yang tidak menguntungkan. Hedging memberi kesempatan bagi trader untuk
melindungi diri dari kemungkinan rugi (loss) meski ia tengah melakukan
transaksi. Caranya adalah dengan memperkecil risiko merugi ketika pergerakan
nilai tukar mata uang tidak memungkinkan trader meraih profit. Dalam DSN MUI
isitilah ini dikenal dengan Transaksi Lindung Nilai Syariah (Al-Tahawwuth
Al-Islami / Islamic Hedging) Atas Nilai Tukar.
2.2 Persyaratan Murabahah dalam Hedging
Mengenai rukun dan syarat murabahah pada
dasarnya sama dengan jual beli biasa, seperti para pihak yang melakukan akad cakap
bertindak hukum, barang yang diperjual belikan merupakan barang yang halal, ada
secara hakiki, dan dapat diserahterimakan. Namun, untuk sahnya akad murabahah,
para ulama sepakat ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Harga pokok diketahui oleh pembeli kedua
jika harga pokok tidak diketahui maka jual beli murabahah menjadi fasid.
2. Keuntungan diketahui karena keuntuungan
merupakan bagian dari harga.
3. Modal merupakan mal misliyyat (benda yang
ada perbandingan di pasaran) seperti benda yang ditakar, benda yang ditimbang, dan
benda yang dihitung atau sesuatu yang nilainya diketahui, misalnya dinar,
dirham, atau perhisan.
4. Murabahah tidak boleh dilkukan terhadap
harta riba dan memunculkan riba karena dinisbahkan pada harga pokok, seperti
seseorang membeli barang yang ditakar atau ditimbang dengan jenis yang sama
maka tidak boleh baginya untuk menjual barng tersebut secara murabahah. Karena
murabahah adalah jual beli dengan harga pokok dan tambahan laba. Sementara itu,
tambahan pada harta riba adalah riba fadhal, bukan laba.
5. Akad jual beli yang pertama dilakukan
adalah sah jika akad jual beli pertama fasid maka murabahah tidak boleh
dilakukan.
Syarat murabahah adalah sesuai dengan rukun
murabahah yaitu:
1. Syarat orang yang berakal
Orang yang melakukan jual beli harus
memenuhi:
a. Orang yang melakukan akad harus berakal.
Oleh karena itu, jual beli yang dilakukan anak kecil dan orang gila hukumnya
tidak sah. Menurut Jumhur ulama bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu
harus telah baligh dan berakal.
b. Yang melakukan akad jual beli adalah orang
yang berbeda.
2. Syarat yang berkaitan dengan ijab kabul
Menurut ulama fiqih, syarat ijab dan kabul
adalah:
a. Orang yang mengucapkan telah baliqh dan
berakal
b. Kabul sesuai dengan ijab
c. Ijab dan kabul itu dilakukan dalam satu
majlis.
3. Syarat barang yang diperjualbelikan
Syarat barang yanh diperjualbelikan yaitu:
a. Barang itu ada atau tidak ada ditempat,
tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupan untuk mengadakan barang itu
b. Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi
manusia
c. Milik seseorang, barang yang sifatnya belum
dimiliki seseorang tidak boleh diperjualbelikan..
d. Boleh diserahkan saat akad berlansung dan
pada waktu yang disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.
Menurut fatwan DSN MUI
(02/DSN-MUI/XII/2015) ada 4 syarat umum, yaitu sebagai berikut:
1. Dalam transaksi lindung nilai syariah ini
terdapat:
a.
wa'd (muwa 'adah) li al-sharf, yaitu janji untuk
melakukan transaksi pertukaran mata uang; dan
b.
akad al-sharf, yaitu transaksi pertukaran mata uang;
2. Pada saat akad al-sharf dilakukan, unsur
gharar tidak boleh terjadi, baik mengenai jumlah val as dan jumlah valuta lokal
yang akan dibeli/dijual maupun nilai tukar actual atau perhitungan nilai tukar
aktual. Gharar (ketidakpastian) dalam jumlah nominal valas I valuta lokal dan
dalam nilai tukar atau perhitungan nilai tukar akan mengakibatkan akad tidak
sah,
3. Dalam wa'd (muwa 'adah), ketidakpastian
mengenai jumlah nominal valas I valuta lokal dan dalam nilai tukar atau
perhitungan nilai tukar tidak mengakibatkan wa'd (muwa 'adah) menjadi tidak
sah.
4. Pada dasarnya, para pihak yang melakukan
muwa'adah wajib melaksanakan akad sesuai dengan muwa 'adahnya. Narnun pada saat
pelaksanaan akad, para pihak dapat menyepakati isi akad yang berbeda dengan isi
mawa’adah (wa’d) yang telah dibuatnya
2.3 Manfaat dan Tujuan Murabahah
1. Manfaat Murabahah
Sesuai dengan sifat bisnis, transaksi
murabahah memiliki beberapa manfaat kepada bank syariah, diantaranya adalah:
a. Adanya keuntungan yang muncul dari selisih
harga yang dibeli dari penjual dengan harga jual nasabah.
b. Sistem murabahah sangat sederhana sehingga
memudahkan penanganan administrasinya di bank syariah.
c. Manfaat bagi bank adalah sebagai salah satu
bentuk penyaluran dana untuk memperoleh pendapatan dalam bentuk margin.
d. Manfaat bagi nasabah adalah penerima
fasilitas adalah merupakan salah satu cara untuk memperoleh barang tertentu
melalui pembiayaan dari nasabah. Nasabah dapat mengangsur pembayaran dengan
jumlah angsuran yang tidak akan berubah selama perjanjian.
2. Tujuan Murabahah
Berikut ini adalah tujuan murabahah kepada
pemesanan pembelian:
a. Mencari pengalaman. Satu pihak yang
berkontrak (pemesan pembelian) meminta pihak lain (pembeli) untuk membeli
sebuah asset. Pemesanan berjanji untuk ganti membeli aset tersebut dan
memberinya keuntungan. Pemesan memilih sistem beli ini, yang biasanya di lakukan
secara kredit, lebih karena ingin mencari informasi di banding alasan kebutuhan
yang mendesak terhadap asset tersebut.
b. Mencari pembiayaan. Dalam operasi perbankan
syariah, motif pemenuhan pengadaan asset atau modal kerja merupakan alasan
utama yang mendorong datang ke bank. Pada gilirannya pembiayaan yang di berikan
akan membantu memperlancar arus kas yang bersangkutan.
2.4 Permasalahan yang Dihadapi
Dalam
perjalanannya, praktek murabahah mengalami penyimpangan dari segi prakteknya.
Sehingga praktek tersebut menjadi batil bahkan berpotensi menjadi zhalim.
Namun, penyimpangan- penyimpangan ini seolah dibiarkan, dan praktek tersebut
terus berlangsung hingga hari ini.
1. Pelanggaran Syarat Milkiyah
Syarat kepemilikan merupakan hal yang
mutlak dalam jual-beli. Rasulullah melarang menjual barang yang belum dimiliki
olehnya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, dari Hakim bin
Hazam, Rasulullah bersabda, “Janganlah menjual barang yang belum dimiliki
olehnya.” Syarat kepemilikan ini sering dilanggar oleh perbankan dalam menjalankan
akad murabahah yang diwakilkan kepada nasabah.
Seharusnya agar praktek ini sesuai syariah,
perbankan harus menyelesaikan akad wakalah terlebih dahulu agar syarat
kepemilikan terpenuhi, barulah kemudian dilangsungkan akad murabahah. Hal ini
juga sesuai dengan Fatwa DSN-MUI Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Mu rabahah
pada Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syari’ah poin sembilan dikatakan:
“Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga,
akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip,
menjadi milik bank.”
2. Pelanggaran Syarat Ra’sul Mal Ma’lum
Pelanggaran jenis ini juga terjadi karena
pada struktur murabahah dengan mewakilkan nasabah untuk membeli barang yang
dipesan.Sebagaimana disebutkan sebelumnya, syarat ra’sul mal (modal) dan ribh
(keuntungan) haruslah diketahui merupakan syarat khusus pada jual beli
murabahah. Pelanggaran ini biasanya terjadi ketika nasabah ingin melakukan
pembiayaan murabahah, kemudian pihak bank menawarkan beberapa besaran platform
pembiayaan tersebut beserta marjin keuntungan yang diambil oleh bank. Bank
tidak mengambil keuntungan berdasarkan besaran dari ra’sul mal, namun dari besaran
uang yang dikeluarkan oleh bank. Bahkan dalam beberapa kasus pihak bank syariah
tidak peduli dengan besaran harga dari ra’sul mal.
Pelanggaran pada jenis inilah yang kemudian
disebut dengan pintu lain menuju riba. Dalam jual beli harus ada komoditas yang
dibeli. Jika tidak, maka tidak ada bedanya dengan bunga pada perbankan
konvensional.
3. Penempatan Akad yang tidak tepat
Murabahah merupakan salah satu dari bentuk
jual beli, sehingga akad ini hanya berlaku pada praktek jual beli saja. Namun
terjadi penempatan akad murabahah pada transaksi yang salah. Misalnya
pembiayaan untuk renovasi rumah, tidak bisa dilakukan dengan akad murabahah, karena
tidak terpenuhinya syarat milkiyah (kepemilikin) dan ra’sul mal (modal) yang
diketahui.
Seharusnya akad yang tepat pada jenis
tersebut adalah akad istishna’ paralel. Dalam akad ini, bisa saja pembeli mengizinkan
pembuat menggunakan subkontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan
demikian, pembuat kontrak istishna’ kedua untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak
pertama.
Isu
Terkini: Keberatan-keberatan
Secara syari’ah kebradaan akad murabahah
diakui, namun kebasahan akad tersebut tidak luput dari kritikan. Salah seorang
cendikiawan Muslim yang paling vokal mengkritik akad murabahah adalah Abdullah Saeed.
Iamenduga adany time value of money dalam pembiayaan berbasis murabahah, namun
hal tersebut, menurut Saeed, oleh praktisi perbankan Islam tidak diakuinya,
karena kalau diakui akan mengarah ke pada pengakuan adanya bunga atau riba. Berikut
beberapa kritikan yang dilontarkan terhadap akad murabahah diperbankan syariah:
1. Perbandingan antara Pembiayaan Murabahah
dan Bunga Tetap
2. Kontrak Murabahah bersifat formalitas
3. Keuntungan
Murabahah, Bunga, dan Riba
Permasalahan Hedging di Perbankan Syariah
Indonesia:
1. Penerapan hedging di perbankan syariah
Indonesia, khususnya BSM mengikuti ketentuan PBI No. 18/2/PBI/2016, Fatwa
No.96/DSN MUI/IV/2015 , opini DPS No. 17/26/DPS/XII/2015 serta POJK No.
24/POJK.03/2015. Dan untuk sementara penerapan hedging di perbankan syariah
Indonesia belum dapat dilaksanakan secara maksimal.
2. Faktor penyebab terhambatnya penerapan hedging
di perbankan syariah Indonesia untuk sementara, sebagai berikut:
a. Masih terbatasnya pengetahuan nasabah
maupun pihak bank mengenai akad dan wa’ad terkait impelementasiannya dalam
kontrak perjanjian hedging,
b. Lamanya rentang waktu dalam melakukan
perumusan hedging oleh pihak BI,OJK, DSN-MUI maupun pihak terkait lainnya,
Belum tersedianya sistem untuk input data
mengenai laporan harian umum bank (LHBU) oleh pihak BI, sehingga hal ini
menyebabkan tidak bersedianya bank counterparty untuk melakukan hedging
syariah, serta belum tersedianya standar operasional prosedur (SOP) maupun
manual operasional (MO) oleh pihak bank.
2.5 Musawamah (tawar menawar)
Banyak kalangan ahli fiqih yang lebih
menyukai sistem jual beli dengan tawar menawar daripada jual beli dengan sistem
fixed profit. Karena sistem fixed profit itu didasari oleh kejujuran dan sikap
amanah, yakni jual beli yang bersikap amanah dan kepolosan, sehingga hal itu membutuhkan
perhatian terhadap situasi dan kondisi secermat mungkin. Padahal amatlah sulit
menghindari dorongan hawa nafsu untuk melakukan tindakan interpretatif dan
manipulatif. Jual beli semacam itu lebih baik dihindari.
Bank-bank syariah umumnya mengadopsi murabahah
untuk memberikan pembiayaan jangka pendek kepada para nasabah guna pembelian
barang meskipun mungkin sinasabah tidak memiliki uang untuk membayar. Murabahah
sebagaiamana yang digunakan dalam perbankan syariah didasarkan pada dua elemen
pokok: harga beli serta biaya yang terkait, dan kesepakatan atas mark-up
(laba). Ciri dasar kontrak murabahah (sebagai jual beli dengan pembayaran
tunda) adalah sebagai berikut:
1. Sipembeli harus memilki pengetahuan tentang
biaya-biaya terkait dan tentang harga asli barang, dan batas laba (mark-up)
harus ditetapkan dalam bentuk presentase dari total harga plus biayabiayanya.
2. Apa yang dijual adalah barang atau komoditas
dan dibayar dengan uang.
3. Apa yang diperjual belikan harus ada dan
dimiliki oleh sipenjual dan sipenjual harus mampu menyerahkan barang itu kepada
sipembeli.
4. Pembayarannya ditangguhkan.
Bank syariah pada umumnya telah menggunakan
murabahah sebagai metode pembiayaan mereka yang utama, meliputi kira-kira tujuh
lima persen dari total kekayaan mereka. Sejumlah alasan diajukan untuk menjelaskan
popularitas murabahah dalam operasi invesatasi perbankan Islam:
1. Murabahah adalah suatu mekanisme investasi jangka
pendek dan dibandingkan dengan sistem profit and loss sharing (PLS) cukup
memudahkan;
2. Mark-up dalam murabahah dapat ditetapkan sedemikan
rupa sehingga memastikan bahwa bank dapat memperoleh keuntungan yang sebanding dengan
keuntungan bank-bank berbasis bunga yang menjadi saingan bank-bank Islam;
3. Murabahah menjauhkan ketidakpastian yang
ada pada pendapatan dari bisnis-bisnis dengan profit and loss sharing (PLS);
4. Murabahah tidak memungkinkan bank-bank
Islam untuk mencampuri manajemen bisnis, karena bank bukanlah mitra sinasabah,
sebab hubungan mereka dalam murabahah adalah hubungan antara kreditur dan
debitur.
Dalam hal proses pembayaran, murabahah dapat
dilakukan secara tunai atau tangguh. Pembayaran tangguh adalah pembayaran yang
dilakukan tidak pada saat barang diserahkan kepada sipembeli, tetapi dilakukan
dalam bentuk angsuran atau sekaligus pada waktu tertentu. Akad murabahah
memperkenankan penawaran harga yang berbeda untuk cara pembayaran yang berbeda
sebelum akad murabahah dilakukan. Namun jika akad tersebut telah disepakati
hanya ada satu harga (harga dalam akad) yang digunakan. Perlu diperhatikan
bahwa harga yang disepakati dalam murabahah adalah harga jual, sedangkan biaya
perolehan harus diberitahukan. jika penjual mendapatkan diskon sebelum akad murabahah,
potongan itu merupakan hak pembeli. Adapun diskon yang diterima setelah akad murabahah
disepakati sesuai dengan yang diatur dalam akad, dan jika tidak diatur dalam
akad maka potongan tersebut adalah hak penjual. Jika diberlakukan diskon, diskon
yang terkait dengan pembelian barang meliputi:
1. Diskon dalam bentuk apapun dari pemasok
atas pembelian barang
2. Diskon biaya asuransi dari perusahaan
asuransi dalam rangka pembelian barang
3. Komisi dalam bentuk apapun yang diterima terkait
dengan pembelian barang. Selain itu diskon atas pembelian barang yang diterima setelah
akad murabahah disepakati diberlakukan seseuai dengan kesepakatan dalam akad
tersebut. Jika akad tidak mengatur, diskon tersebut menjadi hak penjual.
Murabahah sebagai suatu mekanisme jual beli
dengan pembayaran tunda, dapat terjadi baik pada harga tunai, dengan
menghindari segala bentuk mark-up pengganti waktu yang ditundakan untuk
pembayaran, ataupun pada harga tunai plus mark-up untuk pengganti waktu
penundaan pembayaran. Para fuqaha tidak mempersoalkan keabsahan jual beli
dengan pembayaran tunda jenis
yang pertama, yaitu pembayaran tunda dengan
harga tunai. Perbedaan pendapat dikalangan ulama
terjadi pada harga kredit yang lebih tinggi dalam jual
beli dengan pembayaran tunda.
Dalam konteks perbankan Islam sejumlah argumen
telah diajukan untuk mendukung keabsahan harga
kredit yang lebih tinggi dalam pembayaran tunda
diantaranya:
1.
Bahwa teks-teks syariah tidak melarangnya
2.
Bahwa ada perbedaan antara uang yang tersedia sekarang dengan yang tersedia
dimasa yang akan datang seperti yang dikatakan oleh Ali al- Khafif seorang
faqih kontemporer yang dikutip oleh Muhammad “kebiasaannya (urf) uang yang
dibayarkan kontan mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada uang yang
diberikan pada masa yang akan datang”
3.
Bahwa kenaikan harga ini bukan sebagai imbalan waktu
tunda pembayaran, dan karena nya tidak tidak
sama dengan riba pra islam yang diharamkan al-qur’an
4.
Bahwa kenaikan harga dikenakan pada saat penjualan,
tidak setelah penjualan terjadi
5.
Bahwa kenaikan harga disebabkan faktor-faktor yang
mempengaruhi pasar, seperti permintaan dan
penawaran, dan naik turunnya daya beli uang sebagai
akibat inflasi dan deflasi.
Penjual pada prinsipnya, bebas untuk menetapkan harga
barang-barangnya, jika harga-harga ini terlalu tinggi, pembeli boleh untuk
tidak membelinya atau mencari penggantinya, atau penjual lain boleh masuk
kepasar untuk menciptakan keseimbangan harga.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam konteks mu’amalah, kata murabahah
biasanya diartikan sebagai jual beli yang dilakukan dengan menambah harga awal.
Secara terminologi, yang dimaksud dengan murabahah adalah pembelian barang
dengan pembayaran yang ditangguhkan (1 bulan, 2 bulan, 3 bulan dan seterusnya tergantung
kesepakatan). Pembiayaan murabahah diberikan kepada nasabah dalam rangka
pemenuhan kebutuhan produksi (inventory).
Hedging adalah strategi trading untuk “membatasi” atau “melindungi” dana
trader dari fluktuasi nilai tukar mata uang yang tidak menguntungkan. Hedging
memberi kesempatan bagi trader untuk melindungi diri dari kemungkinan rugi
(loss) meski ia tengah melakukan transaksi. Caranya adalah dengan memperkecil
risiko merugi ketika pergerakan nilai tukar mata uang tidak memungkinkan trader
meraih profit. Dalam DSN MUI isitilah ini dikenal dengan Transaksi Lindung
Nilai Syariah (Al-Tahawwuth Al-Islami / Islamic Hedging) Atas Nilai Tukar.
DAFTAR PUSTAKA
Chusmita, L. A., & Hasbi, S. (2016). Analisis
Penerapan Hedging di Perbankan Syariah Indonesia. Jurnal Nisbah, 2 (2),
292-299.
Farid, M. (2013). Murabahah dalam Perpektif Fikih Empat
Mazhab. Episteme, 8 (1), 113-134.
Ghofur, R. A. (2015). Konstruksi Akad dalam Pengembangan Produk
Perbankan Syariah di Indonesia. Al-'Adalah, 12 (3), 493-506.
Haryoso, L. (2017). Penerapan Prinsip Pembiayaan Syariah
(Murabahah) pada BMT Bina Usaha di Kabupaten Semarang. Jurnal Law and
Justice, 2 (1), 79-89.
Ilyas, R. (2015). Kontrak Pembiayaan Murabahah dan Musawamah
. Bisnis, 3 (2), 290-311.
Rejeki, F. Y. (2013). Akad Pembiayaan Murabahah dan
Praktiknya pada Bank Syariah Mandiri Cabang Manado. Lex Privatumi, 1 (2),
19-31.
Sulaiman, S. (2014). Evaluasi Praktik Murabahah Pada
Perbankan Syariah di Indonesia Sebuah Analisis Fiqh. Jurnal Syari'ah, 2 (2),
23-40.
Hedging Syariah: Pengembangan Produk Akad Murabahah dan Musawamah dalam Pengembangan Hedging
4/
5
Oleh
Mirza Sayuti