Ruang Lingkup Perkembangan Sektor Pertanian Indonesia


BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Pembangunan ekonomi secara umum bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, meningkatkan pendapatan, menjamin tersedianya lapangan pekerjaan serta sebagai pendorong perubahan dan pembaharuan dibidang kehidupan lainnya. Keberhasilan pembangunan ini ditunjang oleh keterkaitan dan dukungan dari berbagai pihak serta peranan dari berbagai lapangan usaha. Dalam proses pembangunan ekonomi, setiap sektor atau lapangan usaha yang menunjang kegiatan ekonomi perlu mendapat perhatian khusus.
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang menjadi andalan Indonesia untuk melakukan pembangunan ekonomi. Secara statistic BPS persentase total angkatan kerja yang bekerja pada sektor pertanian dari tahun 2005 sampai tahun 2015, di mana rata-rata 40% dari total angkatan kerja bekerja di sektor pertanian, sedangkan sisanya bekerja di sektor non pertanian yang tersebar di 8 sektor perekonomian di Indonesia.  
Kekayaan sumber daya alam di Indonesia seharusnya dapat menjadi peluang untuk mengembangkan sektor pertanian, sehingga dapat menopang kehidupan masyarakat.

1.2  Rumusan Masalah

a)      Apa yang dimaksud dengan sektor pertanian?
b)      Bagaimana perkembangan sektor kebijakan di Indonesia?
c)      Kebijakan apa saja yang ada di sektor pertanian?
  

BAB II

PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Sektor Pertanian

Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa difahami orang sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam (crop cultivation) serta pembesaran hewan ternak (raising), meskipun cakupannya dapat pula berupa pemanfaatan mikroorganisme dan bioenzim dalam pengolahan produk lanjutan, seperti pembuatan keju dan tempe, atau sekedar ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan atau eksploitasi hutan. Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional.(Wikipedia, 2010).

Ekonomi Pertanian

Ilmu ekonomi pertanian adalah bagian dari ilmu ekonomi umum yang mempelajari fenomena-fenomena dan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pertanian, baik mikro maupun makro. Dengan kata lain, ilmu ekonomi pertanian adalah ilmu yang mempelajari perilaku dan upaya manusia, baik yang langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan produksi, pemasaran, dan konsumsi hasil-hasil pertanian. Pertanian adalah proses produksi yang di dasarkan atas pertumbuhan tanaman dan hewan. Pertanian merupakan industri primer yang mencakup pengorganisasian sumber daya tanah, air, dan mineral, serta modal dalam berbagai bentuk, pengelolaan dari tenaga kerja untuk memproduksi dan memasarkan berbagai barang yang di perlukan oleh manusia.
Ilmu ekonomi pertanian mencakup analisis ekonomi dari proses produksi (Teknis), hubungan-hubungan sosial dalam produksi pertanian, serta antara hubungan faktor-faktor produksi, hubungan antara faktor dan hasil produksi dalam satu proses produksi, yang semuanya itu termasuk dalam wilayah telaah ekonomi mikro. Selain itu ilmu ekonomi pertanian juga mempelajari analisis dan hubungan persoalan-persoalan ekonomi makro. Misalnya, persoalan, pendapatan nasional, konsumsi investasi, lapangan kerja, dan pembangunan ekonomi (Hanafie, 2010).

2.2  Perkembangan Sektor Pertanian

Pembangunan ekonomi selama setengah abad terakhir telah berhasil mengubah struktur perekonomian Indonesia dari perekonomian yang berbasis kepada sektor pertanian menjadi perekonomian yang berbasis pada sektor industri. Hal ini terlihat jelas dalam data kontribusi sektoral utama sebagaimana tergambar dalam Grafik 1. Kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian menurun tajam, dari sebesar 56,3% pada tahun 1962 menjadi hanya 14,7% pada tahun 2011, bahkan sempat turun pada level 13% pada tahun 2005 dan 2006.
Pada periode yang sama, sektor industri (manufaktur dan nonmanufaktur) mengalami peningkatan yang cukup berarti, dari sebesar 11,9% menjadi 47,2% dari total PDB. Sementara kontribusi sektor jasa berfluktuatif pada level sekitar 30-40%. Kontribusi sektor industri manufaktur tumbuh dari level di bawah 10% pada 1962 menjadi 29,1% pada 2001, namun mengalami kecenderungan stagnasi pada periode selanjutnya. Sektor industry nonmanufaktur terdiri atas pertambangan (termasuk migas), konstruksi, listrik, gas dan air bersih. Migas menjadi pemeran utama dalam komponen pertumbuhan ekonomi dalam rentang tahun 1970-an dan 1980-an (Amir, 2014).
Namun demikian, tatkala kontribusi output sektoralnya telah menurun tajam, bukan berarti bahwa sektor pertanian sudah tidak menjadi faktor penting dalam perekonomian Indonesia. Data tahun 2011 (World Bank, 2013) menunjukkan bahwa sektor pertanian masih menyerap tenaga kerja yang cukup tinggi yaitu sebesar 35,9% dari total 151,9 juta angkatan kerja. Sementara sektor industri hanya menyerap 20,6%. Sisanya sebesar 43,5% diserap oleh sektor jasa. Hal ini juga sekaligus menunjukkan bahwa telah terjadi permasalahan ketimpangan struktural sebagai akibat proses industrialisasi yang ditempuh selama empat dekade terakhir (mulai awal tahun 1970-an). Perubahan struktural dalam output perekonomian dari sektor agraris ke sektor industri tidak diikuti oleh perubahan struktur ketenagakerjaan.
Satu lagi yang perlu dicatat ialah terlihatnya fenomena deindustrialisasi dimana sektor manufaktur mengalami penurunan kontribusi dari sebesar 29,1% di tahun 2001 menjadi hanya sebesar 24,3%. Hal ini menjadi indikator serius adanya hambatan yang besar dalam proses industrialisasi di Indonesia.
Penelitian yang dilakukan Felipe (2013) mengkonfirmasi kondisi transformasi perekonomian Indonesia tersebut diatas. Felipe (2013) mengklasifikasikan negara-negara di dunia yang telah berhasil melakukan industrialisasi dan yang belum dalam dua kategori, yaitu dilihat dari sisi output dan ketenagakerjaan. Hasil klasifikasi disusun dalam suatu matriks, Indonesia masuk kepada kategori negara low middle-income countries yang telah berhasil melakukan industrialisasi dari sisi output tetapi belum berhasil dari sisi ketenagakerjaan. Sekali lagi, peran output sektor pertanian sudah menurun drastis tetapi sektor ini masih ‘dihuni’ oleh rumah tangga atau tenaga kerja yang cukup banyak.

2.3  Kebijakan Pembangunan Pertanian

Pada dasarnya formulasi kebijakan didasarkan pada berbagai pertimbangan baik politik, sosial-ekonomi, institusi, lingkungan, sumber daya, tingkat kelayakan, di samping faktor-faktor teknis. Sebagaimana telah dipahami bersama, pembangunan pertanian memiliki arti yang sangat strategis, tidak hanya bagi negara-negara berkembang, bagi negara maju pun pertanian tetap mendapat perhatian dan perlindungan yang sangat serius.
Merumuskan kebijakan pertanian memang tidak mudah. Posisi di persimpangan banyak kepentingan, baik ekonomi maupun politik, membuat kebijakan pertanian kerap kali sulit melepaskan diri dari berbagai kontroversi. Kentalnya warna politik dalam berbagai kebijakan tampaknya menyulitkan perbaikan sektor potensial perekonomian Indonesia ini.
Titik berat pembangunan ekonomi di Indonesia sejak dulu menekankan di bidang industri, walaupun diharapkan adanya keseimbangan pertumbuhan industri dan pertanian, ternyata dunia pertanian yang nota bene lebih banyak berlangsung di wilayah pedesaan dan menjadi gantungan hidup lebih dari 75% penduduk Indonesia tidak mengalami perkembangan yang menyenangkan. Hal ini karena segala kebijakan dan subsidi negara lebih banyak ke dalam industri. Petani kesulitan dalam mengembangkan akses-akses sumber daya alam yakni tanah dan air, sarana produksi hingga kredit. Pengusaha dan sektor bisnislah yang menerima keuntungan pembangunan pertanian yang selama ini ada, karena mereka menguasai akses tersebut.
Menurut Bustanul (Kompas, 2004) mandeknya sektor pertanian berakar pada terlalu berpihaknya pemerintah pada sektor industri sejak pertengahan 1980-an. Menyusul periode pertumbuhan tinggi sektor pertanian satu dekade sebelumnya, pemerintah seolah menganggap pembangunan pertanian dapat bergulir dengan sendirinya. Asumsi ini membuat pemerintah mengacuhkan pertanian dalam strategi pembangunannya. Ini tidak terlepas dari pengaruh paradigma pembangunan saat itu yang menekankan industrialisasi. Pemerintah mencurahkan perhatiannya pada sektor industri, yang kemudian diterjemahkan dalam pelbagai kebijakan proteksi yang sistematis. Entah sadar atau tidak, proteksi besar-besaran ini telah merapuhkan basis pertanian pada tingkat petani.
Selain itu, kebijakan pertanian sejak tahun 1980-an itu pun cenderung distortif. Alasan memperpendek rantai tata niaga dipakai menciptakan lembaga-lembaga pemasaran baru. Namun, alih-alih meningkatkan efisiensi, upaya ini justru merusak kelembagaan pengelolaan pertanian. Kelemahan kelembagaan ini diperburuk oleh lemahnya penegakan hukum. Tanpa penegakan hukum, pemburu rente, baik pengusaha maupun birokrat, dapat mengambil kesempatan dalam kesempitan dari kelemahan kelembagaan. Tata niaga yang pendek dan wewenang yang terpusat di birokrasi membuka lebih jauh kesempatan perburuan rente ini.
Menurut Tito Pranolo (2000), kebijakan nasional pembangunan pertanian di suatu negara juga tentunya tidak lepas dari pengaruh faktor eksternal, apalagi dalam era globalisasi yang dicirikan adanya keterbukaan ekonomi dan perdagangan yang lebih bebas, akan sulit ditemukan adanya kebijakan nasional pembangunan pertanian yang steril dari pengaruh-pengaruh faktor eksternal. Faktor eksternal yang mempengaruhi kebijakan nasional pembangunan pertanian di Indonesia antara lain; (i) kesepakatan-kesepakatan internasional, seperti WTO, APEC dan AFTA; (ii) kebijaksanaan perdagangan komoditas pertanian di negara-negara mitra perdagangan indonesia; (iii) lembaga-lembaga internasional yang memberikan bantuan kepada Indonesia terutama dalam masa krisis. Dalam situasi normal dimana tidak terjadi krisis, maka 2 (dua) faktor pertama itulah yang lebih banyak mempengaruhi kebijakan pembangunan pertanian, namun dalam situasi krisis seperti pada saat ini pengaruh dari lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia akan lebih besar dari pada kesepakatan internasional seperti WTO, APEC dan AFTA, dalam mewarnai kebijakan pangan nasional.

Komponen Kerangka Kebijakan Pertanian (Policy Framework)

Ada empat komponen utama dari framework kebijakan pertanian, yaitu: tujuan (objectives), kendala (constraints), kebijakan (policies), dan strategi (strategies).
Objectives adalah tujuan yang diharapkan akan dicapai oleh sebuah kebijakan yang dibuat oleh para pembuat kebijakan. Constraints (kendala) adalah suatu keadaan yang membuat apa yang bisa dicapai menjadi terbatas. Kebijakan (policies) terdiri atas berbagai instrumen yang bisa digunakan pemerintah untuk merubah outcome pertanian. Sebuah kebijakan yang efektif akan merubah perilaku produsen, pedagang, dan konsumen dan menciptakan outcome baru dari sebuah perekonomian. Strategi (strategies) adalah seperangkat instrumen kebijakan yang digunakan oleh pemerintah untuk mencapai objective yang telah ditetapkan. Setiap strategi dilaksanakan melalui penerapan berbagai kebijakan yang terkordinasi dengan baik. Strategi para pengambil kebijakan terdiri atas seperangkat kebijakan yang dimaksudkan untuk meningkatkan outcome ekonomi (yang telah ditetapkan oleh para pengambil kebijakan).
Berbagai kebijakan tersebut pada pelaksanaannya akan menghadapi berbagai kendala ekonomi baik yang diakibatkan oleh aspek supply, demand, serta harga dunia yang bisa meningkatkan atau menghambat tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Penilaian dampak kebijakan terhadap pencapaian tujuan memungkinkan untuk melakukan penyesuaian strategi yang telah ditetapkan bila memang diperlukan. Singkatnya, pemerintah membuat strategi pembangunan pertanian dengan menentukan seperangkat kebijakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, dengan mempertimbangkan berbagai kendala ekonomi pada sektor pertanian.

Tujuan Dasar kebijakan pemerintah

Pada hakikatnya, kebijakan pemerintah memiliki tiga tujuan utama yaitu efisiensi (efficiency), pemerataan (equity), dan ketahanan/stabilitas (security/stability).
a.       Efisiensi tercapai apabila alokasi sumberdaya ekonomi yang langka keberadaannya mampu menghasilkan pendapatan maksimum, serta alokasi barang dan jasa yang menghasilkan tingkat kepuasan konsumen yang paling tinggi.
b.      Pemerataan diartikan sebagai distribusi pendapatan di antara kelompok masyarakat atau wilayah yang menjadi target pembuat kebijakan. Biasanya, pemerataan yang lebih baik akan dicapai melalui distribusi pendapatan yang lebih baik atau lebih merata. Namun, karena kebijakan adalah aktivitas pemerintah, maka para penentu kebijakan (secara tidak langsung juga voters dalam sebuah sistem demokrasi) yang menentukan definisi pemerataan itu. Sebagai contoh, salah satu langkah menurut Awang Faroek Ishak untuk mencapai tujuan pemerataan di Kalimantan Timur adalah melalui revitalisasi pertanian dalam arti luas yaitu dengan membuat kebijakan di sektor agribisnis di bidang perkebunan kelapa sawit. Tujuan kebijakan ini adalah untuk meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat melalui pengembangan perkebunan.
c.       Ketahanan (pangan) akan meningkat apabila stabilitas politik maupun ekonomi memungkinkan produsen maupun konsumen meminimumkan adjustment costs. Ketahanan pangan diartikan sebagai ketersediaan pangan pada tingkat harga yang stabil dan terjangkau.

Kendala-kendala yang Membatasi Kebijakan Pertanian

Sejak Indonesia menganut perdagangan bebas yang ditandai dengan masuknya menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tahun 1995, masalah pertanian menjadi semakin kompleks sebagai konsekuensi dari hasil kesepakatan terhadap pasal-pasal AoA (Agreement on Agriculture). Persoalan yang ada bukan lagi hanya di sawah, kebun, dan ladang saja, tetapi juga terkait dengan sektor lain, seperti perdagangan dan fiskal. Masalah yang muncul bukan lagi hanya soal hama penyakit, pupuk, dan iklim, tetapi juga masalah efisiensi, serangan produk impor, surplus produksi, penyelundupan, dan lain-lain.
Produktivitas hasil pertanian beberapa tahun terakhir mengalami kemunduran, penyebabnya adalah karena banyaknya persoalan yang melingkupinya. Ada tiga kendala utama yang membatasi gerak sebuah kebijakan yaitu :
a. Penawaran dan produksi
Penawaran dan produksi dibatasi oleh ketersediaan sumberdaya (lahan, tenaga kerja, dan modal), teknologi, harga input, dan kemampuan manajemen. Parameterparemeter ini merupakan komponen dari fungsi produksi sehingga membatasi kemampuan perekonomian dalam menghasilkan komoditas pertanian.
Secara statistik dapat dilihat bahwa lahan pertanian mengalami penyusutan dari tahun ke tahun akibat alih fungsi lahan produktif untuk pembangunan lokasi industri dan pemukiman. Cepatnya pertambahan jumlah penduduk menjadi salah satu faktor yang mempercepat semakin luasnya penggunaan lahan pertanian untuk pemukiman. Petani kecil yang tergusur dari lahan garapannya yakni sebanyak 24.257 Kepala Keluarga (KK) pada tahun 2007 meningkat jadi 31.267 KK di tahun 2008. Petani yang tidak mempunyai lahan (buruh tani) dan petani gurem (petani berlahan sempit, kurang dari 0,5 hektar) semakin hari semakin bertambah dengan laju pertambahan 2,2 persen per tahun (BPS, 2008).
Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yaitu merupakan program untuk meredistribusikan tanah kepada rakyat yang dicanangkan pemerintah SBY-JK sejak tahun 2006, tidak pernah direalisasikan. Proses pengurangan besar-besaran lahan pertanian ini mengakibatkan menurunnya hasil produksi pertanian padi secara nasional. Dilema ini semakin diperparah lagi oleh terjadinya proses penurunan tingkat kesuburan tanah sebagai akibat penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan.
Tahun 2008 pemerintah berencana membagikan tanah yang merupakan program land reform seluas 332.930 hektar yang tersebar di seluruh provinsi, minus DKI Jakarta. Dana yang disiapkan untuk program ini sebesar Rp137 miliar. Luas tanah yang akan dibagi di masing-masing provinsi sangat bervariasi, yang berkisar antara 2000 hingga 15.000 hektar. Terluas di Sumut yakni 57.674 hektar (kaltim Post Online, 2009).
Namun sampai saat ini rencana ini tidak terdengar lagi kabarnya. Dampak dari ketimpangan pertanian ini adalah berpindahnya tenaga kerja dari pertanian ke industri. Jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian berkurang 2,18 juta orang dari 42,32 juta pada Pebruari 2006 menjadi 40,14 juta pada Agustus 2006 hanya dalam hitungan satu semester. Di lain pihak pada periode Pebruari – Agustus 2006, ada penambahan penduduk yang bekerja di sejumlah sektor lain, antara lain: Sektor Jasa bertambah 0,79 juta, Perdagangan 0,65 juta, Konstruksi 0,33 juta, dan Industri 0,31 juta. Penambahan ini sebagian akibat limpahan dari berkurangnya penduduk yang bekerja di sektor pertanian. Di sisi lain, dibanding Februari 2008 sektor pertanian mengalami penurunan lapangan kerja sebanyak 1,36 juta orang, walaupun lapangan kerja sektor pertanian tetap yang terbesar 41,33 juta orang (40,3 %). Perpindahan petani ke industri merubah pola kehidupan mereka.
Kondisi berbeda justru terjadi di Kalimantan Timur, jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian, terus menunjukkan peningkatan dari sekitar 370 ribu orang pada bulan Agustus 2007 menjadi sekitar 425 ribu orang pada bulan Februari 2008 atau meningkat sekitar 55 ribu orang. Adanya musim panen menjadi penyebab meningkatnya pekerja di sektor ini.
b. Permintaan dan konsumsi
Permintaan dan konsumsi dibatasi oleh jumlah penduduk, pendapatan, selera, dan harga output. Parameter ini merupakan komponen dari fungsi permintaan sehingga membatasi kemampuan perekonomian dalam mengkonsumsi produk-produk pertanian.
Pertambahan penduduk merupakan faktor yang sangat dominan terhadap perubahan permintaan dan penawaran. Semakin banyaknya jumlah penduduk akan mengakibatkan meningkatnya permintaan dan konsumsi terhadap komoditas tertentu. Contoh, permintaan terhadap komoditas beras terus meningkat seiring dengan penambahan jumlah penduduk.
Jika selera masyarakat sedang mengarah kepada keinginan untuk membeli sesuatu jenis komoditas pada tingkat harga tertentu, maka akan terjadi pergeseran permintaan sekaligus pergeseran penawaran. Misalnya, masyarakat saat ini sedang gandrung untuk mengkonsumsi beras organik mengakibatkan banyaknya permintaan. Gejala ini mengakibatkan terjadinya permintaan beras yang sudah barang tentu, naiknya jumlah permintaan akan mengakibatkan naiknya jumlah penawaran.
Apabila pendapatan masyarakat bertambah, maka sudah barang tentu terjadi perubahan pola permintaan di pasar, sekaligus perubahan penawaran untuk komoditi tertentu. Misalnya, kenaikan gaji pegawai negeri dan karyawan swasta sudah pasti akan meningkatkan pendapatan pegawai negeri dan karyawan yang bersangkutan. Kenaikan ini mengakibatkan terjadinya perubahan baik permintaan maupun konsumsi terhada beberapa komoditi tertentu pada tingkat harga tertentu.
c. Harga
Harga komoditas yang diperdagangkan baik input maupun output, menentukan dan membatasi peluang untuk mengimpor dalam rangka meningkatkan supply domestik, dan mengekspor dalam rangka memperluas pasar bagi produk domestik. Konsep harga dasar gabah yang tidak bisa dipertahankan lagi karena membutuhkan perangkat, baik dukungan dana maupun kebijakan lain, akhirnya harus menyerah pada sistem perdagangan dunia itu. Setidaknya harus dicari bentuk perlindungan harga baru lagi yang tidak membebani anggaran.
Ketiga parameter ekonomi ini menentukan pasar bagi sebuah komoditas pertanian dan merupakan kekuatan utama dalam mempengaruhi terbentuknya harga serta alokasi sumberdaya. Kendala-kendala ekonomi ini bisa mengarah kepada terjadinya trade-offs dalam pembuatan kebijakan.
Selain kendala dari sisi ekonomi, secara runtut Iskandar Andi Nuhung (2003) merinci masalah-masalah pembangunan pertanian sebagai berikut :
1. Masalah Teknologi.
Belum berkembangnya secara baik teknologi dibidang pertanian sehingga produktifitas pertanian sangat rendah. Diperkirakan kehilangan pendapatan dari rendahnya produktifitas pertanian mencapai Rp 200 trilyun/tahun, belum termasuk perikanan dan kehutanan.


2. Masalah Kelembagaan
Kelembagaan pendukung pembangunan pertanian seperti kelembagaan pasar, kelembagaan keuangan, kelembagaan komoditas, belum dapat secara baik diakses oleh para petani. Secara komprehensif, titik lemah kelembagaan dimulai dari penyediaan pupuk, pembelian gabah dan penerapan harga pembelian pemerintah (HPP), distribusi beras, maupun pengelolaan agribisnis.
3. Masalah Pemasaran
Di tingkat ’grass root’ pemasaran hasil yang dirasa masih sangat sulit bagi petani, sehingga mereka sangat tergantung pada tengkulak-tengkulak yang tentu saja akan membeli hasil pertanian dengan harga yang rendah. Kesulitan dalam pemasaran tersebut disebabkan karena kurangnya infrastruktur jalan yang memadai untuk mendukung perjalanan pemasaran hasil dari produsen ke konsumen akibatnya memasarkan produksinya petani harus mengeluarkan biaya tranport yang cukup tinggi. Di pasar ekspor ada kecenderungan yang surplus perdagangan hasil pertanian terus turun, baik karena pengaruh volume ekspor/impor maupun karena pengaruh harga.
4. Masalah Informasi
Bagi petani, informasi cuaca dan iklim sangat membantu karena tanaman sangat peka terhadap perubahan cuaca dan iklim. Di Thailand begitu ada informasi kekeringan tahun ini, pemerintah setempat telah meminta petani agar tidak memaksakan menanam padi selama musim itu. Di Italia, informasi cuaca harian sangat cepat bahkan dikirim lewat radio sehingga petani bisa mengantisipasi kerusakan terhadap tanaman. Untuk daerah Kalimantan Timur yang beriklim tropika humida, dengan perbedaan yang tidak begitu tegas antara musim kemarau dan musim hujan sehingga pemerintah setempat khususnya Dinas Pertanian cukup kesulitan untuk menentukan waktu awal musim tanam.
Ada dua hal yang paling penting selain hal klasik human error (KKN), yaitu:
1. Tidak adanya keberlanjutan setiap program yang telah disusun dalam setiap pergantian pemegang keputusan dan kebijakan. Selalu ganti kegiatan mengikuti pergantian pimpinan.
2. Dalam struktur departemen atau badan yang mengurusi pertanian dibentuk berdasarkan jumlah orang yang mau diangkat, dan bukan berdasarkan kapasitas kerja. Sehingga dalam setiap kebijakan selalu overlap yang pada akhirnya keputusan yang ditemukan selalu mencar tidak mengkerucut saya rasa penyebab kegagalan yakni SDM baik moral maupun produktivitas. Kedua komponen tersebut memiliki pengaruh kuat terhadap perkembangan dunia pertanian.

Kebijakan yang Mempengaruhi Sektor Pertanian.

Sektor pertanian jelas tidak dapat berdiri sendiri, apalagi jika harus dijadikan beban ekonomi-politik sektor non pertanian seperti manufaktur, industri jasa, dan lain sebagainya yang pernah tumbuh dan berkembang dalam konteks yang sangat semu dan cenderung distortif. Harus ada upaya kongkrit untuk merestorasi kebijakan pertanian demi kepentingan nasional. Kebijakan - kebijakan yang dapat mempengaruhi sektor pertanian dapat digolongkan kepada tiga kategori sebagai berikut :

Kebijakan Harga Pertanian

Kebijakan harga komoditas pertanian merupakan kebijakan yang bersifat spesifik komoditas. Setiap kebijakan diterapkan untuk satu komoditas (misalnya, beras). Kebijakan harga juga bisa mempengaruhi input pertanian. Setiap instrumen kebijakan harga pertanian akan menimbulkan transfer baik dari produsen kepada konsumen dari komoditas bersangkutan, maupun anggaran pemerintah, atau sebaliknya. Beberapa kebijakan harga hanya mempengaruhi dua dari ketiga kelompok tersebut, sementara instrumen yang lain mempengaruhi seluruh dari ketiga kelompok tersebut. Secara umum, paling tidak satu kelompok menderita kerugian atau menjadi korban, dan paling tidak satu kelompok lainnya menerima manfaat dari kebijakan. Ada tiga jenis instrumen kebijakan yang umum diterapkan yaitu, pajak dan subsidi, hambatan perdagangan internasional, dan engendalian langsung (direct controls).
a.         Pajak dan subsidi atas komoditas pertanian menyebabkan terjadinya transfer antara anggaran negara (publik) dengan produsen dan konsumen. Dalam hal pajak, transfer sumberdaya mengalir kepada pemerintah sementara dalam hal subsidi transfer sumberdaya berasal dari pemerintah. Sebagai contoh, subsidi pupuk merupakan ransfer dari anggaran pemerintah pada pupuk. Pemerintah akan menyiapkan subsidi pupuk untuk para petani sebesar Rp16 triliun-Rp17 triliun untuk tahun 2009  (Amirul Hasan, 2009).
b.        Hambatan perdagangan internasional adalah pajak atau kuota yang sifatnya membatasi impor atau ekspor. Dengan melakukan hambatan perdagangan, instrumen kebijakan harga ini merubah tingkat harga dalam negeri. Hambatan impor dapat menaikkan harga komoditas pertanian dalam negeri. Sebagai contoh, pemerintah menetapkan kebijakan tarif (ad valorem) impor gula sebesar 25% untuk melindungi produk gula lokal dalam negeri, selain itu dapat juga diberlakukan SNI sebagai hambatan impor. Sementara hambatan ekspor menurunkan harga dalam negeri menjadi lebih rendah dibandingkan dengan harga dunia. Contohnya, penurunan pajak ekspor CPO menjadi nol persen bertujuan untuk mengurangi hambatan ekspor, yang sebelumnya pajak ekspor CPO sebesar 7,5 %.

Kebijakan Makroekonomi yang Mempengaruhi Pertanian.

Kebijakan makroekonomi mencakup seluruh wilayah dalam satu negara, sehingga kebijakan ini akan mempengaruhi seluruh komoditas. Produsen dan konsumen komoditas pertanian amat dipengaruhi oleh kebijakan ini meskipun seringkali mereka tidak terlibat dalam proses pembuatan kebijakan yang bersifat nasional ini. Ada tiga kategori kebijakan makroekonomi yang mempengaruhi sektor pertanian, yaitu :
a.         Kebijakan fiskal dan moneter merupakan inti dari kebijakan makroekonomi, karena secara bersama-sama mereka mempengaruhi tingkat kegiatan ekonomi dan tingkat inflasi dalam perekonomian nasional, yang diukur melalui peningkatan indeks harga konsumen dan indeks harga produsen. Kebijakan moneter diartikan sebagai pengendalian pemerintah dalam pasokan (supply) uang dan kemudian permintaan aggregat. Bila supply uang meningkat lebih tinggi dari pertumbuhan agregat barang dan jasa, maka akan timbul tekanan inflasi. Contoh kebijakan pemerintah di sektor moneter yang erat kaitannya dengan upaya-upaya pengembangan usaha kecil, khususnya yang berkaitan dengan pengembangan usaha pertanian misalnya kebijakan berkesinambungan perkreditan yang sesuai dan cocok dengan kebutuhan masyarakat usaha kecil. Kebijakan fiskal berhubungan dengan keseimbangan antara kebijakan pajak pemerintah yang meningkatkan pendapatan pemerintah dan kebijakan belanja publik yang menggunakan pendapatan tersebut. Apabila belanja pemerintah lebih besar dari pendapatannya, maka pemerintah mengalami fiskal defisit. Keadaan ini akan menimbulkan inflasi bila defisit tersebut ditutup dengan menambah supply uang.
b.        Kebijakan nilai tukar, secara langsung berpengaruh terhadap harga output dan biaya produksi pertanian. Nilai tukar adalah nilai konversi mata uang domestik terhadap mata uang asing. Sebagian besar komoditas pertanian diperdagangkan secara internasional dan sebagian besar negara mengimpor atau mengekspor sebagian dari kebutuhan atau hasil produk komoditas pertanian mereka. Untuk produk-produk yang diperdagangkan secara internasional, harga dunia akan sama dengan harga dalam negeri apabila tidak ada hambatan perdagangan. Dengan sendirinya, nilai tukar secara langsung mempengaruhi harga produk pertanian karena harga domestik (dinilai dalam mata uang dalam negeri) produk yang diperdagangkan sama dengan harga dunia (dinilai dalam mata uang asing) dikalikan dengan nilai tukarnya (rasio antara mata uang dalam negeri dengan mata uang asing).
c.         Kebijakan harga faktor domestik, secara langsung mempengaruhi biaya produksi pertanian. Faktor domestik utama terdiri atas lahan, tenaga kerja dan modal. Biaya lahan dan tenaga kerja biasanya merupakan porsi terbesar dari biaya produksi pertanian di negara berkembang. Pemerintah seringkali menerapkan kebijakan makroekonomi yang mempengaruhi nilai sewa lahan, upah tenaga kerja, atau tingkat bunga yang berlaku diseluruh wilayah negara tersebut. Kebijakan faktor dometik lainnya seperti upah minimum atau tingkat bunga maksimum, lebih mempengaruhi salah satu sektor dibanding sektor lainnya. Beberapa negara melaksanakan kebijakan khusus dalam upaya mengendalikan penggunaan lahan atau pengendalian ekploitasi sumberdaya alam, seperti air dan bahan mineral. Kebijakan makro tersebut bisa juga mempengaruhi biaya produksi pertanian.

Kebijakan Investasi Publik yang Mempengaruhi Pertanian

Kebijakan investasi publik dalam bentuk barang-barang modal pada infrastruktur, sumberdaya manusia, dan penelitian dan pengembangan teknologi dapat diuraikan sebagai berikut :
a.         Investasi publik dalam bentuk modal, yaitu dengan mengalokasikan pengeluaran investasi (modal) yang bersumber dari anggaran belanja negara (APBN). Salah satu masalah yang dihadapi oleh petani dan nelayan Indonesia adalah kesulitan dan kekurangan mendapatkan modal kerja. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah memberikan kredit modal kerja tanpa bunga dari APBN masing-masing sebesar RP. 3 trilyun kepada petani dan nelayan melalui BRI, bukan melalui kementerian Koperasi. Petani dan nelayan melakukan akad kredit orang per orang, bukan per kelompok tani atau kelompok nelayan. Sehingga jelas masing-masing pribadi petani dan nelayan berapa kredit yang mereka ambil , dan jelas bagi mereka pinjaman yang harus dikembalikan pada saat panen.
b.        Investasi publik dalam bentuk infrastruktur adalah barang modal penting, seperti jalan, pelabuhan, dan jaringan irigasi untuk meningkatkan pendapatan produsen pertanian atau menurunkan biaya produksi.. Barang modal tersebut dikenal sebagai “barang-barang publik”, yang biayanya bersumber dari anggaran pemerintah. Investasi dalam bentuk infrastruktur sifatnya spesifik wilayah serta manfaatnya sebagian besar akan dinikmati oleh produsen dan konsumen diwilayah tersebut. Kebijakan investasi publik amat rumit karena infrastruktur tersebut harus dipelihara dan diperbaharui dari waktu ke waktu. Sebagai contoh, tahun 2009 ini pemerintah telah meresmikan Jembatan Suramadu yang menghubungkan Kota Surabaya dengan Pulau Madura dengan tujuan agar roda perekonomian di pulau Madura tidak tertinggal jauh dengan pesatnya perekonomian Surabaya. Untuk jangka pendek sektor pertanian dan peternakan yang merupakan sektor primer akan berkembang karena kegiatan ekonomi Madura masih bertumpu pada sektor pertanian primer diantaranya tanaman pangan, peternakan, perikanan, perkebunan, dan kehutanan.
c.         Investasi publik dalam bentuk sumberdaya manusia termasuk didalamnya berbagai jenis pengeluaran pemerintah untuk meningkatkan tingkat keahlian atau keterampilan serta kondisi kesehatan produsen dan konsumen. Investasi dalam bentuk sekolah-sekolah pertanian (SPMA), pusat-pusat pelatihan dan penyuluhan (BPTP, BLPP), Kegiatan Magang Sekolah Lapang (SL) Pertanian merupakan contoh-contoh investasi publik yang dapat meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia sektor pertanian. Investasi seperti ini amat menentukan dalam pembangunan jangka panjang, tetapi hasilnya memang baru akan terlihat dalam waktu yang lama.

BAB III

PENUTUP

3.1   Kesimpulan

Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa difahami orang sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam (crop cultivation) serta pembesaran hewan ternak (raising), meskipun cakupannya dapat pula berupa pemanfaatan mikroorganisme dan bioenzim dalam pengolahan produk lanjutan, seperti pembuatan keju dan tempe, atau sekedar ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan atau eksploitasi hutan. Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional.

Daftar Pustaka


 

Amir, H. (2014). Sektor Pertanian: Perlu Upaya Akselerasi Pertumbuhan. Jakarta: Kementrian Keuangan.
Hayati, M., Elfiana, & Martina. (2017). Peranan Sektor Pertanian dalam Pembangunan Wilayah Kabupaten Bireuen Privinsi Aceh. Jurnal S. Pertanian, 1(3), 213-222.
Karsidi, R. (2001). Paradigma Baru Penyuluhan Pembangunan dalam Pemberdayaan Masyarakat. Mediator, 2(1), 115-125.
Ratag, J. P., Kapatow, G. H., & Pakasi, C. B. (2016). Peranan Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian di Kabupaten Minahasa Selatan. Agri-SosioEkonomi, 12(2A), 239-250.
Sudaryanto, T., Iqbal, M., Kustiari, R., Dermoredjo, S. K., Muslim, C., & Saputra, Y. H. (2016). Tingkat Dukungan Domestik untuk Sektor Pertanian di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian,14(1), 73-82.
Widyawati, R. F. (2017). Analisis Keterkaitan Sektor Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Perekonomian Indonesia (Analisi Input Output). Jurnal Economia, 13 (1), 14-27.



Related Posts

Ruang Lingkup Perkembangan Sektor Pertanian Indonesia
4/ 5
Oleh