BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Asuransi
Asuransi atau assurantie
(Belanda) atau insurance (Inggris) mengandung arti
menanggung suatu kerugian yang terjadi. Sementara dalam bahasa Arab, asuransi
terambil dari kata أمن ,yang berarti aman, yaitu berkenaan dengan ketenangan jiwa dan
meniadakan rasa takut. Muhammad Sayyid al-Dasûkî mengartikan asuransi sebagai
transaksi yang mewajibkan kepada pihak tertanggung untuk menunaikan
kewajiban-kewajibannya berupa jumlah uang kepada pihak penanggung, dan akan
menggantikannya manakala terjadi peristiwa kerugian yang menimpa si
tertanggung.
Sedangkan di
Indonesia, menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1992, asuransi diartikan sebagai
perjanjian antara dua pihak atau lebih, di mana pihak penanggung mengikatkan
diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan
penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang
mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak
pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal
atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Sementara
menurut DSN bahwa yang dimaksud dengan asuransi syariah (ta’mîn, takâful
atau tadhâmun) adalah usaha saling melindungi dan tolongmenolong di antara
sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan/atau tabarru’
yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad
(perikatan) yang sesuai dengan syariah.
Pada mulanya, asuransi didirikan sebagai upaya untuk saling melindungi dan
menolong di antara para pihak dalam rangka menghadapi kemungkinan yang akan
terjadi yang tidak mungkin dapat ditanggung sendiri. Kemungkinan terburuk dapat
saja terjadi, dan karena itu perlu mempersiapkan diri untuk menghadapinya.
Persiapan itu dapat dilakukan oleh diri sendiri atau berkelompok dalam bentuk
asuransi atau perkongsian untuk saling menanggung.
Kini asuransi
lebih dekat pada nilai bisnisnya. Sebagai perusahaan, baik asuransi
konvensional maupun asuransi syariah, sama-sama merupakan lembaga bisnis, yang
artinya memiliki tujuan yang sama yaitu mencari keuntungan. Keduanya,
dengan pelbagai cara dan metode, berupaya mencari sebanyak-banyaknya orang agar
menjadi nasabah mereka.
Dari pengertian
di atas, sebenarnya perbedaan utama dari asuransi syariah dan
konvensional terletak pada tujuan dan landasan operasional. Dari sisi tujuan, asuransi
syariah bertujuan saling menolong (ta’âwunî) sedangkan dalam asuransi konvensional
tujuannya penggantian (tabâdulî). Dari aspek landasan operasional,
asuransi konvensional melandaskan pada peraturan perundangan, sementara
asuransi syariah melandaskan pada peraturan perundangan dan ketentuan syariah.
Dari kedua
perbedaan ini muncul perbedaan lainnya, mengenai hubungan perusahaan
dan nasabah, keuntungan, memperhatikan larangan syariah, dan pengawasan.
Berkaitan dengan hubungan perusahaan–nasabah, ini terkait dengan masalah
kontrak (akad), di mana dalam asuransi syariah perusahaan adalah
pemegang amanah (wakîl), sementara dalam asuransi konvensional
perusahaan adalah pemilik dana asuransi. Karena itu, keuntungan asuransi
syariah adalah
sebagiannya milik nasabah, sedangkan keuntungan asuransi konvensional
seluruhnya menjadi milik perusahaan.
Dalam hal
ketentuan syariah, asuransi syariah dibatasi dalam kegiatannya oleh
larangan-larangan syariah, di antaranya larangan mempraktikkan riba dalam
bentuk apapun, menghindarkan praktik perjudian, ketidakpastian, dan
ketidakjelasan (maysir, gharar, jahâlah), dan berinvestasi dalam bidang
yang halal. Selain itu, dalam konteks Indonesia, asuransi syariah wajib
memiliki dewan pengawas
syariah yang bertugas mengawasi kesesuaian praktik perusahaan asuransi
dengan ketentuan syariah.
2.2 Sejarah Perkembangan
Asuransi Islam di Dunia
Istilah asuransi mulanya dikenal di Eropa Barat pada abad pertengahan berupa
asuransi kebakaran. Kemudian, pada abad ke-13 dan ke-14 terjadi peningkatan
lalu lintas perhubungan laut antar pulau sehingga berkembang pula asuransi
pengangkutan laut yang berasal dari Romawi. Jenis asuransi ini merupakan jenis
asuransi kapitalis. Asuransi ini dibentuk untuk mendapatkan laba dan didasarkan
atas perhitungan niaga. Asuransi jiwa baru dikenal pada awal abad ke-19.
Asal-usul asuransi syariah berbeda dengan kemunculan asuransi
konvensional seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Praktik bernuansa
asuransi tumbuh dari budaya suku Arab pada zaman Nabi Muhammad saw yang disebut
aqilah. Al-Aqilah mengandung pengertian saling memikul dan
bertanggung jawab bagi keluarga. Dalam kasus terbunuhnya seorang anggota
keluarga, ahli waris korban akan mendapatkan uang darah (diyat) yang
dibayarkan oleh angota keluarga terdekat dari si pembunuh yang disebut aqilah.
Aqilah mengumpulkan dana secara bergotong royong untuk membantu keluarga yang
terlibat dalam perkara pembunuhan yang tidak sengaja itu.
Dalam satu
kasus tentang aqilah ini, Nabi Muhammad saw pernah bersabda seperti
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, yang artinya adalah sebagai berikut.
Dari Abu Hurairah ra: “Berselisih dua orang wanita dari suku
Huzail, kemudian salah
satu wanita tersebut melempar batu kepada wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tersebut beserta janin yang dikandungnya. Ahli waris dari wanita yang meninggal tersebut
mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasulullah saw maka Rasulullah memutuskan
ganti rugi dari pembunuhan terhadap janin adalah dengan membebaskan seorang
budak laki-laki atau wanita. Dan kompensasi atas kematian wanita tersebut dengan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh aqilah-nya (kerabat dari orang tua laki-laki).’ (HR. Bukhari)
Praktik aqilah
ini pada zaman Rasulullah saw tetap diterima oleh masyarakat Islam
dan menjadi bagian dari hukum Islam. Terdapat kemungkinan seseorang secara
tidak sengaja mencelakai orang lain hingga meninggal dunia. Kemudian, keluarga
orang tersebut mengumpulkan dana untuk digunakan sebagai kompensasi finansial
kepada ahli waris korban sehingga masalah kecelakaan ini dianggap selesai antar
keluarga. Prinsip aqilah memang didasarkan kepada kejadian tidak disengaja atau
kekeliruan yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang sehingga yang lain
(aqilah) menanggung beban kompensasi terhadap ahli waris korban. Beban
kompensasi tidak ditanggung oleh si pembuat kekeliruan.
Menurut Buku
Dictionary of Islam yang ditulis oleh Thomas Patrick jika ada salah
satu anggota suku yang terbunuh oleh anggota suku lain, maka pewaris kurban akan
dibayar sejumlah uang darah atau yang dikenal sebagai diyat. Diyat ini digunakan
sebagai kompensasi dari keluarga terdekat si pembunuh. Al-aqila adalah denda
sedangkan makna al’aqil adalah orang yang membayar denda. Beberapa ketentuan
sistem aqilah yang merupakan bagian dari asuransi sosial dituangkan oleh Nabi
Muhammad SAW dalam piagam Madinah yang merupakan konstitusi pertama di
dunia setelah hijrah ke Madinah. Pasal 3 Konstitusi Madinah menyebutkan bahwa orang
Quraisy yang melakukan perpindahan (ke Madinah) melakukan pertanggungan bersama
dan akan saling bekerja sama membayar uang darah di antara mereka. Jika seorang
anggota suku melakukan pembunuhan terhadap anggota suku yang lain, maka ahli
waris korban akan memperoleh bayaran sejumlah uang darah sebagai kompensasi
oleh penutupan keluarga pembunuh, yang disebut sebagai aqilah.
Praktik aqilah
tersebut memiliki kemiripan konsep dengan praktik asuransi Islam
yang pertama kali dibentuk. Praktik asuransi Islami berawal pada pendapat Dewan
Yurisprudensi Islam Liga Dunia Muslim, Mekkah, Arab Saudi, yang menyetujui
adanya “asuransi koperatif”. Organisasi asuransi atas dasar koperatif dimotivasi
oleh sebab yang sama dan pada hakikatnya mengikuti perkembangan yang
sama baik di zaman modern, maupun di zaman kuno. Suatu Negara Islam seharusnya
menganjurkan pembentukan suatu industri asuransi yang dimotivasi oleh jiwa
koperatif karena gagasan koperatif diakui dalam Islam.
Dalam sistem
asuransi koperatif, para penyumbang dana asuransi adalah para dermawan,
dan sumbangan mereka adalah donasi, dengan tujuan menanggung kerugian
yang menimpa siapa saja dari para penyumbang itu secara bersama-sama. Kompensasi
yang diberikan bertalian dengan kerugian yang diderita dan bukan suatu jumlah
tertentu yang disetujui antara pengasuransi dan yang diasuransikan pada waktu
perjanjian dibuat.
Pada dekade
70-an di beberapa Negara Islam atau di Negara-negara yang mayoritas
penduduknya penduduknya muslim bermunculan asuransi yang prinsip operasionalnya
mengacu kepada nilai-nilai Islam dan terhindar dari ketiga unsur yang
diharamkan Islam. Pada tahun 1979 “Faisal Islamic Bank of Sudan” mengambil
prakarsa untuk mendirikan Perusahaan Asuransi atas dasar koperatif yang
bernama di Sudan. Perusahaan tersebut mengasuransikan usaha berikut ini, kecuali
asuransi jiwa.
1.
Asuransi Muatan Laut
2.
Asuransi Kapal
3.
Kebakaran dan Pencurian
4.
Penerbangan
5.
Kecelakaan Pribadi
6.
Rekayasa
7. Ganti rugi para
pekerja
Islamic
Insurance Co. Ltd tersebut
menyelenggarakan dua akun yang terpisah dan berbeda yaitu akun pertama adalah
akun pemegang polis dan akun kedua adalah akun pemegang saham. Akun para
pemegang polis dimasukkan dalam kredit beserta semua
iuran mereka, dengan mempertimbangkan perlindungan asuransi ditambah dengan
keuntungan yang diterima pada investasi sumbangannya, dan didebitkan dengan
proporsi beban jasa dan klaim. Kelebihan yang ada setelah menyiapkan cadangan
yang diperlukan, dibagikan di antara para pemegang polis, sebanding dengan
iuran yang mereka bayar. Para pemegang saham perusahaan tidak turut serta dalam
suatu bagian pun dari kelebihan akun pemegang polis itu. Pendapatan yang diperolah
dari investasi modal saja dikreditkan pada akun pemegang saham. Bila ada kelebihan
yang tersisa sesudah membayar bagian pengeluaran pemegang saham untuk
masa yang tertentu, maka kelebihan ini dapat dibagi antar pemegang saham.
Perusahaan
tersebut telah membuat banyak kemajuan dalam jangka waktu lima
tahun dan telah mampu mendirikan beberapa cabang di Arab Saudi yang bernama
Islamic Insurance Co. Ltd dan di Arab Saudi. Keberhasilan asuransi
syariah ini kemudian
diikuti oleh berdirinya Dar al-Mal al-Islam di Geneva, Swiss dan Takaful
Islami di Luxemburg, Takaful
Islam Bahamas di Bahamas dan al-Takaful alIslami di Bahrain pada
tahun 1983. Syarikat Takaful Nerhad di Malaysia berdiri pada tahun 1984.
Di Asia, asuransi syariah pertama kali diperkenalkan di Malaysia pada tahun
1985 melalui sebuah perusahaan asuransi jiwa bernama Takaful Malaysia, selanjutnya
diikuti oleh Negara-negara lain seperti Brunei, Singapura, dan Indonesia.
2.3 Sejarah Perkembangan
Asuransi Islam di Indonesia
Keberadaan
usaha asuransi syariah tidak lepas dari keberadaan usaha asuransi konvensional
yang telah ada sejak lama. Sebelum terwujud usaha perasuransian syariah
sudah terdapat berbagai macam perusahaan asuransi konvensional yang telah lama
berkembang. Atas dasar keyakinan umat Islam dunia dan manfaat yang diperoleh
melalui konsep asuransi syariah, maka lahirlah berbagai perusahaan asuransi
yang menjalankan usaha perasuransian berlandaskan prinsip syariah. Perusahaan
ini bukan saja dimiliki orang Islam, namun juga berbagai perusahaan miliki
non muslim. Selain itu juga terdapat perusahaan induk dengan konsep konvensional
ikut memberikan layanan asuransi syariah dengan membuka kantor cabag
atau unit usaha syariah (UUS).
Perkembangan
perusahaan asuransi berlandaskan Islam di Indonesia terkait dengan
beroperasinya bank syariah sehingga diperlukan kehadiran jasa asuransi syariah.
Perusahaan asuransi syariah pertama kali didirikan pada tahun 1994 melalui PT
Syarikat Takaful Indonesia (STI). PT STI memiliki dua anak perusahaan, yaitu PT
Asuransi Takaful Keluarga (ATK) dan PT Asuransi Takaful Umum (ATU). Menurut
data pemerintah BAPEPAM LK Kementrian Republik Indonesia, sampai dengan
tanggal 31 Januari 2011, di Indonesia terdapat 44 perusahaan yang bergerak di
bidang perasuransian syariah, lima diantaranya merupakan asuransi syariah penuh (full
Islamic insurance system), yaitu PT Asuransi Takaful Keluarga (ATK), PT Asuransi
Takaful Umum (ATU), dan PT Asuransi Syariah Mubarakah (ASM), PT Jaya
Proteksi Takaful, dan PT Asuransi Jiwa Al-Amin, sedangkan 37 unit asuransi
syariah (UUS), dan tiga perusahaan reasuransi yang memiliki unit syariah.
Kondisi ini menunjukkan
bisnis asuransi syariah di Indonesia mulai ditekuni secara serius. Permintaan
asuransi syariah di masyarakat sudah meningkat yang dapat diartikan bahwa
masyarakat Indonesia sudah mulai terbiasa untuk bertransaksi dengan menggunakan
syariah Islami.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
asuransi
syariah (ta’mîn, takâful atau tadhâmun) adalah usaha saling melindungi
dan tolongmenolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam
bentuk asset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
Praktik bernuansa asuransi tumbuh dari budaya suku Arab pada zaman Nabi
Muhammad saw yang disebut aqilah. Al-Aqilah mengandung pengertian
saling memikul dan bertanggung jawab bagi keluarga. Dalam kasus terbunuhnya
seorang anggota keluarga, ahli waris korban akan mendapatkan uang darah (diyat)
yang dibayarkan oleh angota keluarga terdekat dari si pembunuh yang disebut
aqilah. Aqilah mengumpulkan dana secara bergotong royong untuk membantu
keluarga yang terlibat dalam perkara pembunuhan yang tidak sengaja itu.
Asuransi yang pertama kali didirikan adalah asuransi takâful di Sudan
pada tahun 1979, yang dikelola oleh Dâr al-Mâl al-Islâmî Group. Dâr al-Mâl
melebarkan sayap bisnisnya ke negara-negara Eropa dan Asia lainnya. Setidaknya
ada empat asuransi takâful dan re-takâful pada tahun 1983, yang berpusat di
Geneva, Bahamas, Luxembourg, dan Inggris.
Pertumbuhan
asuransi syariah didukung oleh ketentuan regulasi yang menjamin kepastian hukum
kegiatan asuransi syariah. Perusahaan asuransi syariah pertama kali didirikan pada tahun 1994
melalui PT Syarikat Takaful Indonesia (STI)
Daftar Pustaka
Maksum, M. (2011). Pertumbuhan
Asuransi Syariah di Dunia dan Indonesia. Al-Iqtishad, 3(1), 35-48.
Puspitasari, N. (2011). Sejarah dan Perkembangan
Asuransi Islam serta Perbedaannya dengan Asuransi Konvensional. JEAM, 10
(1), 35-47.
Rahman, M. F. (2011). Asuransi dalam Perspektif
Hukum Islam. Al-'Adalah, 10(1), 25-34.
Makalah Perkembangan Asuransi Syariah di Dunia dan Indonesia
4/
5
Oleh
Mirza Sayuti