Makalah Ruang Lingkup Etika Bisnis Islam
Ekonomi Islam
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ruang
Lingkup Etika Bisnis Islam
Secara Bahasa, ruang lingkup di artikan sebagai batasan. Secara istilah,
ruang lingkup adalah suatu batasan yang memudahkan penelitian agar lebih
efektif dan efisien untuk memisahkan asfek tertentu sebuah objek.
Etika berasal dari bahasa Yunani yang berarti karakter, kebiasaan atau
sekumpulan perilaku moral yang diterima secara luas. Etimologi dari etika
menunjukkan dasar karakter individu untuk melakukan hal-hal yang baik, aturan
sosial yang membatasi seseorang atas sesuatu yang benar atau yang salah yang dikenal
juga dengan istilah moralitas. Etika adalah bagian dari filsafat yang membahas
secara rasional dan kritis tentang nilai, norma atau moralitas. Terminologi
yang paling dekat dengan pengertian etika dalam Islam disebut sebagai akhlak
(bentuk jama’nya khuluq).
Etika bisnis merupakan prinsip-prinsip moral atau aturan tingkah laku
atau kaidah-kaidah etik yang dianut dalam berbisnis. Arti lain dari etika
bisnis adalah aturan main prinsip dalam organisasi yang menjadi pedoman membuat
keputusan dan tingkah laku
Etika bisnis dalam Islam adalah sejumlah perilaku etis bisnis (akhlaq
al Islamiyah) yang dibungkus dengan nilai-nilai syariah yang mengedepankan
halal dan haram. Jadi perilaku yang etis itu ialah perilaku yang mengikuti
perintah Allah dan menjauhi larangnya. Dalam Islam etika bisnis ini sudah
banyak dibahas dalam berbagai literatur dan sumber utamanya adalah Al-Quran dan
sunnaturrasul. Pelaku-pelaku bisnis diharapkan bertindak secara etis dalam
berbagai aktivitasnya. Kepercayaan, keadilan dan kejujuran adalah elemen pokok
dalam mencapai suksesnya suatu bisnis di kemudian hari.
Dari beberapa penjelasan arti kata di atas dapat diambil kesimpulan
sederhana jika ruang lingkup etika bisnis islam adalah batasan perilaku manusia
dalam melakukan usaha (transaksi/kerjasama) sesuai dengan ketentuan allah.
2.2 Fungsi Etika Bisnis Islam
Pada dasarnya terdapat fungsi khusus yang diemban oleh etika bisnis
Islami. Dijelaskan sebagai berikut :
1.
Etika bisnis berupaya mencari cara untuk menyelaraskan
dan menyerasikan berbagai kepentingan dalam dunia bisnis.
2.
Etika bisnis juga mempunyai peran untuk senantiasa
melakukan perubahan kesadaran bagi masyarakat tentang bisnis, terutama bisnis
Islami. Dan caranya biasanya dengan memberikan suatu pemahaman serta cara
pandang baru tentang bisnis dengan menggunakan landasan nilai-nilai moralitas
dan spiritualitas, yang kemudian terangkum dalam suatu bentuk bernama etika
bisnis.
3.
Etika bisnis terutama etika bisnis Islami juga bisa
berperan memberikan satu solusi terhadap berbagai persoalan bisnis modern ini
yang kian jauh dari nilai-nilai etika. Dalam arti bahwa bisnis yang beretika
harus benar-benar merujuk pada sumber utamanya yaitu Al-Quran dan Sunnah.
2.3 Aksioma Dasar Etika Bisnis Islam
Dilihat dari perspektif ajaran etika (akhlak) dalam Islam pada
prinsipnya manusia dituntut untuk berbuat baik pada dirinya sendiri, disamping
kepada sesama manusia, alam lingkungannya dan kepada Tuhan selaku pencipta-Nya.
Oleh karena itu, untuk bisa berbuat baik pada semuanya itu, manusia di samping
diberi kebebasan (free will), hendaknya ia memperhatikan keesaan Tuhan (tauhid),
prinsip keseimbangan (tawazun = balance) dan keadilan (qist).
Di samping tanggung jawab (responsibility) yang akan di hadapkan kepada
Tuhan. Lima konsep inilah yang disebut Aksioma dasar etika bisnis Islam, yang
terdiri atas prinsip-prinsip umum yang terhimpun menjadi satu kesatuan yang
terdiri atas konsep-konsep keesaan (tauhid), keseimbangan (equilibrium),
kehendak bebas (free will), tanggung jawab (responsibility), dan
kebajikan (ihsan).
Sejumlah aksioma dasar etika bisnis Islam tersebut sudah menjadi umum
dan jelas kebenarannya, serta sudah dikembangkan dan dirumuskan oleh para
sarjana muslim. Aksioma-aksioma ini merupakan turunan dari hasil penerjemahan
kontemporer akan konsep-konsep fundamental dari nilai moral Islami. Penjelasan
aksioma-aksioma tersebut adalah sebagai berikut :
a. Kesatuan (Tauhid/Unity).
Konsep ini dimaksudkan bahwa sumber utama etika Islam adalah kepercayaan
total dan murni terhadap kesatuan (keesaan) Tuhan. Konsep tauhid
merupakan dimensi vertical Islam yang berarti Allah sebagai Tuhan Yang
Maha Esa menetapkan batas-batas tertentu atas perilaku manusia sebagai
khalifah, untuk memberikan manfaat pada individu tanpa mengorbankan hak-hak individu
lainnya. Hubungan vertical ini merupakan wujud penyerahan diri manusia secara
penuh tanpa syarat di hadapan Tuhan, dengan menjadikan keinginan, ambisi, serta
perbuatannya tunduk pada titah-Nya. Oleh karena itu tauhid merupakan dasar dan
sekaligus motivasi untuk menjaminkelangsungan hidup, kecukupan, kekuasaan, dan
kehormatan manusia yang telah didesain Allah menjadi makhluk yang dimuliakan.
Dengan mengintegrasikan aspek religius dengan aspek-aspek kehidupan yang
lainnya, seperti ekonomi, akan menimbulkan perasaan dalam diri manusia bahwa ia
akan selalu merasa direkam segala aktivitas kehidupannya, termasuk dalam
aktivitas berekonomi sehingga dalam melakukan aktivitas bisnis tidak akan mudah
menyimpang dari segala ketentuannya. Perhatian terus menerus untuk kebutuhan
etik dan dimotivasi oleh ketauhidan kepada Tuhan Yang Maha Esa akan
meningkatkan kesadaran individu mengenai insting altruistiknya, baik
terhadap sesama manusia maupun alam lingkungannya. Ini berarti, konsep tauhid
akan memiliki pengaruh yang paling mendalam terhadap diri seorang muslim.
b. Keseimbangan (Keadilan/Equilibrium).
Prinsip keseimbangan bermakna terciptanya suatu situasi di mana tidak
ada satu pihak pun yang merasa dirugikan, atau kondisi saling ridho („an taradhin).20
Perilaku keseimbangan dan keadilan dalam bisnis secara tegas dijelaskan dalam
konteks perbendaharaan bisnis agar pengusaha muslim menyempurnakan takaran bila
menakar dan menimbang dengan neraca yang benar, karena hal itu merupakan
perilaku yang terbaik dan membawa akibat yang baik pula.
Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam mengharuskan untuk
berbuat adil, tak terkecuali kepada pihak yang tidak disukai. Islam
mengharuskan penganutnya untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan. Dan bahkan
berlaku adil harus didahulukan dari kebajikan dalam perniagaan, persyaratan
adil yang paling mendasar adalah agar pengusaha Muslim menyempurnakan takaran
bila menakar dan menimbang dengan alat timbangan yang benar, karena hal itu
merupakan perilaku terbaik yang akan mendekatkan pada ketakwaan.
c. Kehendak Bebas (Ikhtiyar/Free Will).
Dalam pandangan Islam, manusia memiliki kebebasan untuk mengambil semua
tindakan yang diperlukan untuk memperoleh kemashlahah-an yang tertinggi dari
sumber daya yang ada pada kekuasaannya untuk dikelola dan dimanfaatkan untuk
mencapai kesejahteraan hidup, namun kebebasan dalam Islam dibatasi oleh
nilai-nilai Islam. Dengan tanpa mengabaikan kenyataan bahwa ia sepenuhnya
dituntun oleh hukum yang diciptakan Allah SWT, ia diberikan kemampuan untuk
berfikir dan membuat keputusan, untuk memilih jalan hidup yang ia inginkan, dan
yang paling penting, untuk bertindak berdasarkan aturan apapun yang ia pilih.
Tidak seperti halnya ciptaan Allah SWT yang lain di alam semesta, ia dapat memilih
perilaku etis maupun tidak etis yang akan ia jalankan.
Konsep Islam memahami bahwa institusi ekonomi seperti pasar dapat
berperan efektif dalam kehidupan perekonomian. Hal ini berlaku manakala tidak
ada intervensi bagi pasar dari pihak manapun, tak terkecuali oleh pemerintah.
Dalam Islam kehendak bebas mempunyai tempat tersendiri, karena potensi
kebebasan itu sudah ada sejak manusia dilahirkan di muka bumi ini. Namun,
sekali lagi perlu ditekankan bahwa kebebasan yang ada dalam diri manusia
bersifat terbatas, sedangkan kebebasan yang tak terbatas hanyalah milik Allah
semata.oleh karena itu perlu disadari setiap muslim, bahwa dalam situasi apa
pun, ia dibimbing oleh aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang didasarkan pada
ketentuan-ketentuan Tuhan dalam Syariat-Nya yang dicontohkan melalui Rasul-Nya.
d. Pertanggung Jawaban (Responsibility).
Islam sangat menekankan pada konsep tanggung jawab, walaupun tidaklah
berarti mengabaikan kebebasan individu. Ini berarti bahwa yang dikehendaki
ajaran Islam adalah kehendak yang bertanggung jawab. Manusia harus berani
mempertanggungjawabkan segala pilihannya tidak saja di hadapan manusia bahkan
paling penting adalah kelak di hadapan Tuhan. Tanggung jawab muslim yang
sempurna tentu saja didasarkan atas cakupan kebebasan yang luas, yang dimulai
dari kebebasan untuk memilih keyakinan dan berakhir dengan keputusan yang paling
tegas yang perlu diambilnya.
Dalam dunia bisnis hal semacam itu juga sangat berlaku. Setelah
melaksanakan segala aktifitas bisnis dengan berbagai bentuk kebebasan, bukan
berarti semuanya selesai saat tujuan yang dikehendaki tercapai, atau ketika
sudah mendapatkan keuntungan. Semua itu perlu adanya pertanggung jawaban atas
apa yang telah pebisnis lakukan, baik itu pertanggung jawaban ketika ia
bertransaksi, memproduksi barang, menjual barang, melakukan jual beli,
melakukan perjanjian dan lain sebagainya.
e. Ihsan.
Ihsan (benevolence), artinya melaksanakan perbuatan baik yang
dapat memberikan kemanfaaatan kepada orang lain, tanpa adanya kewajiban
tertentu yang mengharuskan perbuatan tersebut atau dengan kata lain beribadah,
dan berbuat baik seakan-akan melihat Allah, jika tidak mampu, maka yakinlah
bahwa Allah melihat apa yang kita perbuat.
Dalam sebuah kerjaan bisnis Ahmad menggarisbawahi sejumlah perbuatan
yang dapat mensupport pelaksanaan aksioma ihsan dalam bisnis, yaitu :
1) Kemurahan hati (leniency)
2) Motif pelayanan (Service motive)
3) Kesadaran akan adanya Allah dan aturan yang
berkaitan dengan pelaksanaan yang menjadi proritas.
Selain hal yang disebutkan di atas, manusia juga diwajibkan untuk
mengenal dan mengobservasi skala prioritas Quran, seperti:
1) Lebih memilih kepada penghargaan akhirat
ketimbang penghargaan duniawi
2) Lebih memilih kepada tindakan yang bermoral
ketimbang yang tidak bermoral
3) Lebih memilih halal ketimbang yang haram.
2.4 Prinsip-Prinsip Etika Bisnis Islam
Rasulullah SAW memiliki sifat – sifat ke
Rasul-an yang menjadi dasar etika bisnis ala Rasulullah yaitu Shidiq, Amanah,
Tabligh dan Fathanah. Kejujuran (as-sidiq) dan kepercayaan (al-amin)
menjadi prinsip utama Rasulullah Saw dalam berbisnis, selain itu beliau juga
terhitung sebagai orang yang cerdas (fatanah) dengan pemikiran yang visioner,
kreatif dan inovatif, serta pintar mempromosikan diri dan bisnisnya (tabligh)
atau dalam istilah ekonomi dikenal dengan marketing, semua itu menyatu dalam
diri Rasulullah SAW.
1. Siddiq
Siddiq artinya benar. Bukan hanya perkataannya
yang benar, tapi juga perbuatannya juga benar. Sejalan dengan ucapannya. (QS.
An-Najm : 4)
“Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu
yang diwahyukan (kepadanya)”
Seorang pemimpin senantiasa berprilaku
benar dan jujur dalam sepanjang kepemimpinannya, dan seorang pemasar haruslah
sifat shiddiq haruslah menjiwai setiap prilakunya dalam melakukan pemasaran,
dalam berhubungan dengan pelanggan, dalam bertransaksi dengan nasabah, dan
dalam menjalin kerjasama dan perjanjian dengan mitra bisnisnya.
2. Amanah
Amanah artinya benar-benar bisa dipercaya.
Jika satu urusan diserahkan kepadanya, niscaya orang percaya bahwa urusan itu
akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itulah Rasulullah Saw
dijuluki oleh penduduk Mekkah dengan gelar “Al Amin” yang artinya
terpercaya jauh sebelum beliau diangkat jadi Nabi. Apa pun yang beliau ucapkan,
penduduk Mekkah mempercayainya karena beliau bukanlah orang yang pembohong.
Sebagaimana telah diterangkan dalam ayat berikut ini: (QS. Al-A’raaf : 68)
“Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku
kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu”.
Dapat dipercaya, bertanggung jawab, juga
bermakna keinginan untuk memenuhi sesuatu sesui dengan ketentuan. Menyelaraskan
nilai yang terkait dengan kejujuran dan melengkapinya.
3. Tabligh
Tabligh artinya menyampaikan. Segala firman
Allah yang ditujukan oleh manusia, disampaikan oleh Nabi.Tidak ada yang
disembunyikan meski itu menyinggung Nabi. (QS. Al Jin : 28)
“Supaya Dia mengetahui, bahwa Sesungguhnya
Rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang
(sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung
segala sesuatu satu persatu”.
Orang yang mempunyai sifat ini akan
menyampaikan dengan benar dan apa adanya dengan tutur kata yang tepat.
Berbicara dengan orang lain dengan sesuatu yang mudah dipahaminya, berdiskusi
dan melakukan presentasi dengan bahasa yang mudah dipahami sehingga orang
tersebut dapat dengan mudah memahami pesan bisnis yang kita sampaikan.
4. Fathanah
Fathanah artinya Cerdas. Mustahil Nabi itu
bodoh. Dalam menyampaikan 6 ribu lebih ayat Al Qur’an kemudian menjelaskannya
dalam puluhan ribu hadits membutuhkan kecerdasan yang luar biasa. Nabi harus
mampu menjelaskan firman-irman Allah kepada kaumnya sehingga mereka mau masuk ke
dalam Islam. Nabi juga harus mampu berdebat dengan orang-orang kafir dengan
cara yang sebaik-baiknya. Apalagi Nabi mampu mengatur ummatnya sehingga dari
bangsa Arab yang bodoh dan terpecah-belah serta saling perang antar suku,
menjadi satu bangsa yang berbudaya dan berpengetahuan. Dan dapat diartikan
sebagai seorang pemasar harus cerdik dan bijaksana, dalam kata lain adalah
pemasar harus mengerti, memahami, menghayati secara mendalam segala hal yang
menjadi tugas dan kewajibannya.
2.5 Transaksi yang Dilarang Dalam Islam
Transaksi-transaksi yang dilarang untuk
dilakukan dalam Islam adalah transaksi yang disebabkan oleh kedua faktor
berikut :
Haram zatnya (objek transaksinya)
Suatu transaksi dilarang karena objek
(barang dan/atau jasa) yang ditransaksikan merupakan objek yang dilarang
(haram) dalam hukum agama Islam. Seperti memperjualbeli kan alkohol, narkoba,
organ manusia, dll.
Haram Selain Zatnya (Cara Bertransaksi-nya)
Setidaknya dari berbagai literatur yang
kami jumpai terbagi atas 13 jenis :
1. MAYSIR
Semua bentuk perpidahan harta ataupun
barang dari satu pihak kepada pihak lain tanpa melalui jalur akad yang telah
digariskan Syariah, namun perpindahan itu terjadi melalui permainan, seperti
taruhan uang pada permainan kartu, pertandingan sepak bola, pacuan kuda, pacuan
greyhound dan seumpamanya. Mengapa dilarang? Karena (1) permainan bukan cara
untuk mendapatkan harta/keuntungan (2) menghilangkan keredhaan dan menimbulkan
kebencian/dendam (3) tidak sesuai dengan fitrah insani yang berakal dan disuruh
bekerja untuk dunia dan akhirat.
Menurut bahasa maisir berarti
gampang/mudah. Menurut istilah maisir berarti memperoleh keuntungan tanpa harus
bekerja keras. Maisir sering dikenal dengan perjudian karena dalam praktik
perjudian seseorang dapat memperoleh keuntungan dengan cara mudah. Dalam
perjudian, seseorang dalam kondisi bisa untung atau bisa rugi.
Judi dilarang dalam praktik keuangan Islam,
sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah sebagai berikut:
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar
dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya’…”
(QS. Al Baqarah : 219)
“Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
perbuatan keji termasuk perbuatan
syetan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan”
(QS Al-Maaidah : 90)
Pelarangan maisir oleh Allah SWT
dikarenakan efek negative maisir. Ketika melakukan perjudian seseorang
dihadapkan kondisi dapat untung maupun rugi secara abnormal. Suatu saat ketika
seseorang beruntung ia mendapatkan keuntungan yang lebih besar ketimbang usaha
yang dilakukannya. Sedangkan ketika tidak beruntung seseorang dapat mengalami
kerugian yang sangat besar. Perjudian tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan
keseimbangan sehingga diharamkan dalam sistem keuangan Islam.
2. GHARAR/TAGHRIR
Sesuatu yang tidak jelas dan tidak dapat
dijamin atau dipastikan kewujudannya secara matematis dan rasional baik itu
menyangkut barang (goods), harga (price) ataupun waktu pembayaran
uang/penyerahan barang (time of delivery).
Taghrir dalam bahasa Arab gharar, yang berarti :
akibat, bencana, bahaya, resiko, dan ketidakpastian. Dalam istilah fiqh
muamalah, taghrir berarti melakukan sesuatu secara membabi buta tanpa
pengetahuan yang mencukupi; atau mengambil resiko sendiri dari suatu perbuatan
yang mengandung resiko tanpa mengetahui dengan persis akibatnya, atau memasuki
kancah resiko tanpa memikirkan konsekuensinya.
Menurut Ibnu Taimiyah, gharar terjadi bila
seseorang tidak tahu apa yang tersimpan bagi dirinya pada akhir suatu kegiatan
jual beli. Taghrir dan tadlis terjadi karena adanya incomplete information yang
terjadi pada salah satu pihak baik pembeli atau penjual. Karena itu, kasus
taghrir terjadi bila ada unsure ketidakpastian yang melibatkan kedua belah
pihak (uncertain to both parties).
Menurut mahzab Imam Safi`e seperti
dalam kitab Qalyubi wa Umairah: “gharar itu adalah apa-apa
yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling mungkin muncul adalah
yang paling kita takuti”.
Dengan demikian menurut bahasa, arti gharar
adalah al-khida` (penipuan), suatu tindakan yang didalamnya diperkirakan
tidak ada unsur kerelaan. Gharar dari segi fiqih berarti penipuan dan tidak
mengetahui barang yang diperjualbelikan dan tidak dapat diserahkan. Gharar
terjadi apabila, kedua belah pihak saling tidak mengetahui apa yang akan
terjadi, kapan musibah akan menimpa, apakah minggu depan, tahun depan, dan
sebagainya. Ini adalah suatu kontrak yang dibuat berasaskan andaian (ihtimal)
semata. Inilah yang disebut gharar (ketidak jelasan) yang dilarang dalam Islam,
kehebatan sistem Islam dalam bisnis sangat menekankan hal ini, agar kedua belah
pihak tidak didzalimi atau terdzalimi. Karena itu Islam mensyaratkan beberapa
syarat sahnya jual beli, yang tanpanya jual beli dan kontrak menjadi rusak,
diantara syarat-syarat tersebut adalah:
·
Timbangan yang jelas (diketahui dengan jelas berat
jenis yang ditimbang)
·
Barang dan harga yang jelas dan dimaklumi (tidak boleh
harga yang majhul (tidak diketahui ketika beli).
·
Mempunyai tempo tangguh yang dimaklumi
·
Ridha kedua belah pihak terhadap bisnis yang
dijalankan.
Imam an-Nawawi menyatakan, larangan gharar
dalam bisnis Islam mempunyai perananan
yang begitu hebat dalam menjamin keadilan, jika kedua belah pihak saling
meridhai, kontrak tadi secara dzatnya tetap termasuk dalam kategori bay’
al-gharar yang diharamkkan.
3. RIBA
Al-Quran dan Sunnah dengan sharih telah
menjelaskan keharaman riba dalam berbagai bentuknya; dan seberapun banyak ia
dipungut. Allah swt berfirman;
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka Berkata (berpendapat), “Sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang
kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya”.
[QS Al Baqarah (2): 275]
Di dalam Sunnah, Nabi Muhammad saw
“Satu dirham riba yang dimakan
seseorang, dan dia mengetahui (bahwa itu adalah riba), maka itu lebih berat
daripada enam puluh kali zina”.
(HR Ahmad dari Abdullah bin Hanzhalah).
Riba secara bahasa bermakna ziyadah
(tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh
dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan
tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam
menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa
riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun
pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam
Islam, yaitu:
Al-Qur’an
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan”
(QS. Ali Imran:130).
“Hai orang-orang yang
beriman,bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)
jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya”.
(QS. Al Baqarah: 278-279)
Hadits
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata,
Rasulullah bersabda: “Riba adalah tujuh puluh dosa; dosanya yang paling
ringan adalah (sama dengan) dosa orang yang berzina dengan ibunya.”
(HR. Ibn Majah).
Jabir berkata bahwa Rasulullah SAW
mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya dan orang yang
mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian Beliau bersabda, “Mereka itu
semuanya sama”.
(HR.Muslim).
4. BAI’ AL MUDTARR
Adalah jual beli dan pertukaran dimana
salah satu pihak dalam keadaan sangat memerlukan (in the state of emergency)
sehingga sangat mungkin terjadi eksploitasi oleh pihak yang kuat sehingga
terjadi transaksi yang hanya menguntungkan sebelah pihak dan merugikan pihak
lainnya.
5. IKRAH
Segala bentuk tekanan dan pemaksaan dari
salah satu pihak untuk melakukan suatu akad tertentu sehingga menghapus
komponen mutual free consent. Jenis pemaksaan dapat berupa acaman fisik atau
memanfaatkan keadaan seseorang yang sedang butuh atau the state of emergency.
Imam Ibnu Taimiyah ra mengatakan bahwa dalam keadaan darurat (state of
emergency) seseorang yang memilik stock barang yang dibutuhkan orang banyak
harus diperintahkan untuk menjualnya dengan harga pasar, jika dia enggan
melakukannya pihak berkuasa dapat memaksanya untuk melakukan hal tersebut demi
menyelamatkan nyawa orang banyak.
6. GHABN
Adalah dimana si penjual memberikan tawaran
harga diatas rata-rata harga pasar (market price) tanpa disadari oleh
pihak pembeli. Ghabn ada dua jenis yakni: Ghabn Qalil (Negligible) dan Ghabn
Fahish (Excessive).
Ghabn Qalil: adalah jenis perbedaan harga
barang yang tidak terlalu jauh antara harga pasar dan harga penawaran dan masih
dalam kategori yang dapat dimaklumi oleh pihak pembeli. Ghabn Fahish adalah
perbedaan harga penawaran dan harga pasar yang cukup jauh bedanya.
7. BAI’ NAJASH.
Dimana sekelompok orang bersepakat dan
bertindak secara berpura-pura menawar barang dipasar dengan tujuan untuk
menjebak orang lain agar ikut dalam proses tawar menawar tersebut sehingga
orang ketiga ini akhirnya membeli barang dengan harga yang jauh lebih mahal
dari harga sebenarnya. Larangan Rasul saw:
“..Janganlah kamu meminang seorang gadis
yang telah dipinang saudaramu, dan jangan menawar barang yang sedang dalam
penawaran saudaramu; dan janganlah kamu bertindak berpura-pura menawar untuk
menaikkan harga..”
Ini adalah sebuah situasi di mana
konsumen/pembeli menciptakan demand (permintaan) palsu, seolah-olah ada banyak
permintaan terhadap suatu produk sehingga harga jual produk itu akan naik. Cara
yang bisa ditempuh bermacam-macam, seperti menyebarkan isu, melakukan order
pembelian, dan sebagainya. Ketika harga telah naik maka yang bersangkutan akan
melakukan aksi ambil untung dengan melepas kembali barang yang sudah dibeli,
sehingga akan mendapatkan keuntungan yang besar. Sebagai contoh : ini sangat
rentan terjadi ketika pelelangan suatu barang. Biasanya yang mengadakan
pelelangan bekerja sama dengan beberapa peserta pelelangan dimana mereka
bertugas untuk berpura-pura melakukan penawaran terhadap barang yang dilelang,
dengan kata lain untuk menaikkan harga barang yang dilelang tersebut.
8. IHTIKAR
Adalah menumpuk-numpuk barang ataupun jasa
yang diperlukan masyarakat dan kemudian si pelaku mengeluarkannya
sedikit-sedikit dengan harga jual yang lebih mahal dari harga biasanya dengan
tujuan untuk mendapatkan keuntungan lebih cepat dan banyak. Para ulama tidak
membatasi jenis barang dan jasa yang ditumpuk tersebut asalkan itu termasuk
dalam kebutuhan essential, maka Ihtikar adalah dilarang. Rasulullah saw
bersabda:
“Barangsiapa yang menimbun (barang &
jasa kebutuhan pokok) maka telah melakukan suatu kesalahan.”
Ikhtikar adalah sebuah situasi di mana
produsen/penjual mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara
mengurangi supply (penawaran) agar harga produk yang dijualnya naik.
Ikhtikar ini biasanya dilakukan dengan membuat entry barrier (hambatan
masuk pasar), yakni menghambat produsen/penjual lain masuk ke pasar agar ia
menjadi pemain tunggal di pasar (monopoli), kemudian mengupayakan adanya
kelangkaan barang dengan cara menimbun stock (persediaan), sehingga terjadi
kenaikan harga yang cukup tajam di pasar. Ketika harga telah naik, produsen
tersebut akan menjual barang tersebut dengan mengambil keuntungan yang
berlimpah. Sebagai contoh: ketika akan dirumorkan oleh pemerintah bahwa tarif
bbm akan dinaikan, maka marak terjadinya penimbunan bbm oleh para penjual
nakal. Hal ini mereka lakukan agar dapat menjual bbm dengan tarif yang sudah
dinaikkan, sehingga mereka mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
9. GHISH
Menyembunyikan fakta-fakta yang seharusnya
diketahui oleh pihak yang terkait dalam akad sehingga mereka dapat melakukan
kehati-hatian (prudent) dalam melindungi kepentingannya sebelum terjadi
transaksi yang mengikat. Dalam Common Law akad seperti ini dikenal
dengan sebutan Akad Uberrime Fidae Contract dimana semua jenis informasi
yang seharusnya diketahui oleh pelanggan sama sekali tidak boleh disembunyikan.
Jika ada salah satu informasi berkenaan dengan subject matter akad tidak
disampaikan, maka pihak pembeli dapat memilih opsi membatalkan transaksi
tersebut.
10. TADLIS
Adalah tindakan seorang peniaga yang
sengaja mencampur barang yang berkualitas baik dengan barang yang sama
berkualitas buruk demi untuk memberatkan timbangan dan mendapat keuntungan
lebih banyak Tindakan “oplos” yang hari ini banyak dilakukan termasuk kedalam
kategori tindakan tadlis ini. Rasullah saw sering melakukan ‘inspeksi
mendadak’ ke pasar-pasar untuk memastikan kejujuran para pelaku pasar dan
menghindari konsumen dari kerugian.
Yaitu sebuah situasi di mana salah satu
dari pihak yang bertransaksi berusaha untuk menyembunyikan informasi dari pihak
yang lain (unknown to one party) dengan maksud untuk menipu pihak
tersebut atas ketidaktahuan akan informasi objek yang diperjualbelikan.
Hal ini bisa penipuan berbentuk kuantitas (quantity),
kualitas (quality), harga (price), ataupun waktu penyerahan (time
of delivery) atas objek yang ditransaksikan. Sebagai contoh : apabila kita
menjual hp second dengan kondisi baterai yang sudah sangat lemah, ketika kita
menjual hp tersebut tanpa memberitahukan (menutupi) kepada pihak pembeli, maka
transaksi yang kita lakukan menjadi haram hukumnya.
11. TALAQQIL JALAB / TALAQQI RUKBAN
Yang dimaksud dengan jalab adalah
barang yang diimpor dari tempat lain. Sedangkan rukban yang dimaksud
adalah pedagang dengan menaiki tunggangan.
Adapun yang dimaksud talaqqil jalab atau
talaqqi rukban adalah sebagian pedagang menyongsong kedatangan barang dari
tempat lain dari orang yang ingin berjualan di negerinya, lalu ia menawarkan
harga yang lebih rendah atau jauh dari harga di pasar sehingga barang para
pedagang luar itu dibeli sebelum masuk ke pasar dan sebelum mereka mengetahui
harga sebenarnya. Jual beli seperti ini diharamkan menurut jumhur (mayoritas ulama)
karena adanya pengelabuan.
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari talaqqil jalab”
(HR. Muslim no. 1519).
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata, “Dulu
kami pernah menyambut para pedagang dari luar, lalu kami membeli makanan milik
mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas melarang kami untuk melakukan
jual beli semacam itu dan membiarkan mereka sampai di pasar makanan dan
berjualan di sana”
(HR. Bukhari no. 2166).
Jika orang luar yang diberi barangnya
sebelum masuk pasar dan ia ketahui bahwasanya ia menderita kerugian besar
karena harga yang ditawarkan jauh dengan harga normal jika ia berjualan di
pasar itu sendiri, maka ia punya hak khiyar untuk membatalkan jual beli. Dalam
hadits Abu Hurairah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Janganlah menyambut para pedagang luar. Barangsiapa yang
menyambutnya lalu membeli barang darinya lantas pedagang luar tersebut masuk
pasar (dan tahu ia tertipu dengan penawaran harga yang terlalu rendah), maka ia
punya hak khiyar (pilihan untuk membatalkan jual beli)”
(HR. Muslim no. 1519).
Jika jual beli semacam ini tidak mengandung
dhoror (bahaya) atau tidak ada tindak penipuan atau pengelabuan, maka jual beli
tersebut sah-sah saja. Karena hukum itu berkisar antara ada atau tidak adanya
‘illah (sebab pelarangan).
12. BAI’ HADIR LIL BAAD
Yang dimaksud bai’ hadir lil baad adalah
orang kota yang menjadi calo untuk orang pedalaman atau bisa jadi bagi sesama
orang kota. Calo ini mengatakan, “Engkau tidak perlu menjual barang-barangmu
sendiri. Biarkan saya saja yang jualkan barang-barangmu, nanti engkau akan
mendapatkan harga yang lebih tinggi”.
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah menyambut para pedagang dari luar
(talaqqi rukban) dan jangan pula menjadi calo untuk menjualkan barang orang
desa”. Ayah Thowus lantas berkata pada Ibnu ‘Abbas, “Apa maksudnya dengan
larangan jual beli hadir li baad?” Ia berkata, “Yaitu ia tidak boleh menjadi
calo”.
(HR. Bukhari nol. 2158).
Menurut jumhur, jual beli ini haram, namun
tetap sah. Namun ada beberapa syarat yang ditetapkan oleh para ulama yang
menyebabkan jual beli ini menjadi terlarang, yaitu:
Barang yang ia tawarkan untuk dijual adalah
barang yang umumnya dibutuhkan oleh orang banyak, baik berupa makanan atau yang
lainnya. Jika barang yang dijual jarang dibutuhkan, maka tidak termasuk dalam
larangan.
Jual beli yang dimaksud adalah untuk harga
saat itu. Sedangkan jika harganya dibayar secara diangsur, maka tidaklah
masalah. Orang desa tidak mengetahui harga barang yang dijual ketika sampai di
kota. Jika ia tahu, maka tidaklah masalah.
13. RISYWAH
Risywah menurut bahasa berarti: “pemberian
yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya untuk memenangkan perkaranya
dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk mendapatkan sesuatu yang sesuai
dengan kehendaknya.” (al-Misbah al-Munir/al Fayumi, al-Muhalla/Ibnu Hazm).
Atau “pemberian yang diberikan kepada seseorang agar mendapatkan kepentingan
tertentu”
Sedangkan menurut istilah risywah berarti:
“pemberian yang bertujuan membatalkan yang benar atau untuk menguatkan dan
memenangkan yang salah.”
Dari definisi di atas ada dua sisi yang
saling terkait dalam masalah risywah; Ar-Rasyi (penyuap) dan
Al-Murtasyi (penerima suap), yang dua-duanya sama-sama diharamkan dalam
Islam menurut kesepakatan para ulama, bahkan perbuatan tersebut dikategorikan
dalam kelompok dosa besar. Sebagaimana yang telah diisyaratkan beberapa nash
Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyah berikut ini:
Firman Allah ta’ala:
”Dan janganlah sebahagian kamu memakan
harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu mengetahui”
(QS Al Baqarah 188)
”Mereka itu adalah orang-orang yang suka
mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram”
(QS Al Maidah 42).
Imam al-Hasan dan Said bin Jubair
menginterpretasikan ‘akkaaluna lissuhti’ dengan risywah. Jadi risywah
(suap) identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah SWT
Rasulullah SAW bersabda:
“Rasulullah melaknat penyuap dan yang
menerima suap”
(HR Khamsah kecuali an-Nasa’i dan
dishahihkan oleh at-Tirmidzi).
“Setiap
daging yang tumbuh dari barang yang haram (as-suht) nerakalah yang paling layak
untuknya.” Mereka bertanya: “Ya Rasulullah, apa barang haram (as-suht) yang
dimaksud?”, “Suap dalam perkara hukum”
(Al-Qurthubi 1/ 1708)
Ayat dan hadits di atas menjelaskan secara
tegas tentang diharamkannya mencari suap, menyuap dan menerima suap. Begitu
juga menjadi mediator antara penyuap dan yang disuap
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ruang lingkup etika bisnis islam adalah batasan perilaku manusia dalam
melakukan usaha (transaksi/kerjasama) sesuai dengan ketentuan allah. Prinsip
etika bisnis islam sama seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW yang
menjadi dasar etika bisnis ala Rasulullah yaitu Shidiq, Amanah, Tabligh dan
Fathanah. Transaksi yang dilarang dalam islam terbagi dua, yang pertama karena
dzatnya haram dan yang kedua karena cara bertaransaksinya.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, F. (2013). Etika Bisnis
Islam: Konsep dan Implementasi pada Pelaku Usaha Kecil . Jurnal Pendidikan,
116-125.
Baidowi, A. (2011). Etika Bisnis Perspektif Islam. JHI, 9
(2), 1-9.
Juliyani, E. (2016). Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam. Jurnal
Ummul Qura, 7 (1), 63-74.
Mardatillah, A. (2013). Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam.
JIS, 6(1), 89-98.
Putritama, P. (2018). Penerapan Etika Bisnis Islam Dalam
Industri Perbankan Syariah. Jurnal Nominal, 7 (1), 1-20.
Rahmah, R. A. (2016). Etika dan Manajemen Bisnis Islam
(Studi Kasus di Waroeng Steak and Shake Cabang SM Raja Medan). J-EBIS, 2(2),
1-25.